Magelang, Gatra.com - Sudah dua kali ini Adri Teguh merayakan Lebaran tidak bersama keluarga. Kewajibannya sebagai petugas pemadam kebakaran, mengharuskannya berjaga 24 jam tanpa kecuali pada Hari Raya.
“Jiwa sosial kita yang digunakan. Ketika Natal, Lebaran, Tahun Baru, yang seharusnya berkumpul dengan keluarga tapi wajib tugas, kalau sudah jadi kewajiban ya nggak masalah,” kata Adri, salah seorang pemadam kebakaran Kota Magelang.
Menurut Adri awalnya sulit menjelaskan tuntutan tugas ini kepada anak dan istrinya. Dulu, anaknya sering protes, mengapa tidak bisa merasakan Lebaran seperti teman-teman sebayanya yang berkumpul bersama keluarga.
“Lama-kelamaan mengerti juga tugas orang tuanya seperti apa. Wajar anak-anak iri lihat Lebaran teman-temannya kumpul sama orang tua. Ya pinter-pinter kita kasih penjelasan.”
Tugas jaga pemadam kebakaran dilakukan bergiliran setiap 24 jam. Ada 3 pleton pemadam beranggotakan 13 personel pada setiap kali giliran jaga. Adri tergabung dalam Pelton 3 yang dipimpin Yansen Andalas Tambunan.
Jika tidak ada panggilan darurat, para petugas 'membunuh waktu' dengan bermain game di telepon genggam atau mendengarkan musik dari pengeras suara yang tersedia di ruang santai.
“Tapi, tidak ada ceritanya kita benar-benar santai. Tidur pun tetap dalam keadaan siaga yang sewaktu-waktu siap berangkat. Ibaratnya tidur ayam,” kata Adri.
Kecepatan adalah kunci utama memadamkan api agar kebakaran tidak meluas. Pemadam kebakaran menargetkan maksimal 15 menit tiba di lokasi kebakaran, dihitung dari pertama menerima panggilan.
Warga biasanya meminta bantuan memadamkan api melalui telepon. Petugas piket kemudian membunyikan sirine panggilan kepada seluruh pemadam yang bertugas.
Keluar dari markas menuju lokasi kebakaran, dari situlah petugas mulai berhadapan dengan situasi berbahaya. Letak markas Damkar Kota Magelang di ruas jalan satu arah, sering mengharuskan konvoi bergerak melawan arus kendaraan.
“Apalagi kalau situasi kebakaran terjadi di atas jam 12 malam. Posisi baru tidur, melek mata, langsung disuruh berangkat. Namanya manusia normal pasti belum konsen.”
Beruntung, kata Adri, hingga saat ini belum pernah terjadi kecelakaan konvoi truk pemadam menabrak kendaraan lain. Seperti kejadian saat Damkar Kota Magelang memadamkan kebakaran di TK Aisyiah. Kebakaran terjadi pukul 20.00 sehingga arus lalu lintas masih padat.
“Kita keluar markas langsung ambil kanan lawan arah. Jalanan sedang ramai-ramainya. Kita ambil jalur tengah, yang lawan arah kita kalau posisi di kiri ya minggir ke kiri, yang kanan minggir ke kanan,” kata Komandan Pleton 3, Yansen Andalas Tambunan.
Tantangan lainnya jika posisi lokasi kebakaran sulit dijangkau truk pemadam. Beruntung sekarang ada 2 motor penyerang pemadaman api yang sanggup masuk ke gang-gang sempit permukiman padat Kota Magelang.
Adri menceritakan pengalaman pertama kali mendapat panggilan tugas memadamkan kebakaran. Saat itu awal bulan puasa tahun 2013, dapur Hotel Puri Asri terbakar. “Yang ada cuma bingung. Panik kita enggak tahu mau ngapain. Untungnya waktu itu masih ada senior-senior yang mengarahkan. Kacau banget situasinya,” ujar Adri, sembari tertawa.
Sering menangani kebakaran, Adri semakin berpengalaman. Bahkan dia mengaku tidak lagi merasa takut atau canggung saat menghadapi situasi kacau atau harus mengevakuasi korban tewas.
Jika sudah di TKP, tidak ada lagi perasaan takut atau ragu. “Kalau situasi api masih menyala kita pikir dua kali untuk menerobos. Kecuali kalau memang di dalam positif ada korban yang masih hidup, nah kalau itu wani ora wani yo teko tabrak (berani tidak berani ya langsung tabrak).”
Adri tidak dapat menjelaskan alasannya memilih pekerjaan pemadam kebakaran. Dia hanya menduga mungkin pilihan itu diambilnya mengikuti jejak pengabdian sang ayah yang pensiunan polisi. “Kebetulan dulu bapak saya polisi, tugas di ‘lempar’ ke mana gitu. Jadi istilahnya sudah biasa dari kecil.”
Kendala paling besar bagi pemadam kebakaran adalah minimnya sosialisasi kepada masyarakat. Banyak masyarakat yang tidak melaporkan kebakaran karena menduga harus membayar jika memanggil petugas pemadam kebakaran.
Adri punya pengalaman menyedihkan terkait dengan dugaan masyarakat itu. Ceritanya, Damkar Kota Magelang menerima panggilan kebakaran di daerah Mertoyudan. Saat tiba di TKP, petugas justru dicegah untuk memadamkan api. “Kami tidak boleh masuk ke lokasi. Warga bilang ‘sudah padam pak, biarkan saja’, padahal jelas-jelas api masih menyala.”
Kemudian datang ketua RT yang tiba-tiba bertanya, berapa mereka harus membayar jasa pemadam kebakaran. “Kami bilang, ini gratis Pak. Operasional kami dibiayai pemerintah.”
Terlambat sudah. Gubuk bambu milik sepasang kakek-nenek itu telanjur habis dilalap api.
Masih sedikit masyarakat yang mengetahui, tugas pemadam kebakaran tidak hanya mematikan api. Tugas penyelamatan hingga pengendalian hewan liar juga masuk dalam daftar pelayanan pemadam.
“Kita pernah menolong sapi yang kecebur septictank. Kita derek pakai truk pemadam. Tapi kebayang proses dan baunya kan,” ujar Adri, terbahak sambil mengenang peristiwa itu.
Tugas makin berat saat harus menghadapi cemooh masyarakat yang kerap berkomentar miring soal kinerja pemadam kebakaran. Pemadam dituding bekerja tidak becus dan sering datang terlambat di lokasi kebakaran.
“Pemadam kebakaran masih disepelekan enggak seperti di luar negeri. Kalau di sana, apa-apa pemadam. Rescue yang berbahaya sekalipun larinya ke pemadam. Kalau di Indonesia masih disepelekan. Dipandang sebelah mata,” kata Adri.