Brussel, Gatra.com - Produk perkebunan merupakan andalan kekuatan ekspor komoditas pertanian Indonesia di pasar Uni Eropa. Salah satu komoditas unggulan yang hingga saat ini memiliki trend permintaan yang meningkat adalah coklat atau kakao. Neraca perdagangan Indonesia untuk produk kakao dan turunannya selalu menunjukkan trend positif dari tahun ke tahun.
“Tahun 2018 ekspor kakao Indonesia ke Uni Eropa mencapai US$215.2 juta. Naik sebanyak 22% dibandingkan nilai ekspor di tahun 2017 yakni sebesar US$201.7 juta,” ujar Atase Pertanian Indonesia (ATANI) untuk Belgia di Kota Brussel, Wahida, Minggu (2/6).
Angka ini baru ± 1% dari total nilai impor Uni Eropa (UE) untuk produk kakao dan turunannya, yang mencapai US$27.4 miliar. Negara importir kakao ke UE terbesar adalah Pantai Gading senilai US$4 miliar, Ghana US$1.5 milar, dan Nigeria US$672 juta. Berdasarkan data yang dilansi oleh Eurostat, Uni Eropa merupakan negara pengonsumsi kakao terbesar di dunia, yakni sebesar 8-9 kg/kapita/tahun.
“Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan volume ekspor kakao dan produk turunannya yang berkualitas dan sustainable,” sambung Wahida dalam keterangan tertulis.
Liberalisasi Tarif jadi Kunci Pasar Eropa
Pada kesempatan yang sama Atase Perdagangan KBRI di Brussel, Merry Astrid Indriasari menambahkan, pengamanan akses pasar komoditi strategis melalui liberalisasi tarif menjadi kunci dalam perundingan IEU CEPA.
Menurut Astrid, hal ini diyakini juga bisa mendorong laju ekspor komoditi kakao dan produk turunannya ke pasar UE. Hingga saat ini, Indonesia telah mengusulkan initial offer untuk lebih dari 10 ribu pos tarif, termasuk di dalamnya kakao dan produk turunannya.
“Kita harapkan ini bisa mempercepat proses negosiasi untuk mengejar ketertinggalan dengan negara ASEAN lainnya yang sudah memiliki FTA dengan UE,” ujar Astrid.
Di dalam negeri permintaan akan biji kakao sebenarnya juga meningkat. Atase Pertanian KBRI Brussel, Wahida menyebutkan, selain mengekspor biji kakao, saat ini industri pengolahan biji kakao untuk re-ekspor juga sedang berkembang di dalam negeri.
Sebagai catatan, lanjut Wahida, di tahun 2018 Indonesia mengimpor biji kakao sebanyak 240 ribu ton dengan nilai impor mencapai US$528 juta. Supply biji kakao nasional yang tersedia masih belum mampu mencukupi kapasitas terpasang industri olahan kakao.
“Pabrik-pabrik pengolahan kakao mengolah biji kakao menjadi intermediate goods untuk selanjutnya diekspor ke negara-negara konsumen utama seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang,” jelas Wahida.
Menurut catatan Astrid, hingga saat ini cacao butter masih menjadi produk unggulan ekspor Indonesia dengan volume ekspor mencapai 24.6 ribu ton di tahun 2018.
Upaya Kembalikan Kejayaan Kakao Indonesia
“Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) telah melakukan berbagai macam upaya untuk mengangkat kejayaan kakao nasional,” tegas Wahida.
Salah satunya dengan transfer teknologi untuk pengendalian pengakit vaskular-streak dieback (VSD) dan Phytopthora Pod Rot Disesase pada tanaman coklat.
Selain dana pemerintah, industri kakao terkemuka di Eropa, Mondelez menyatakan ketertarikannya untuk mendanai proyek ini. Proyeknya akan melibatkan para peneliti dari Pusat Penelitian Tanaman Kakao dan Kopi (Puslitkoka) di Jember dan diharapkan akan dapat dilaksanakan dalam 1-2 tahun mendatang.
Peluang ini muncul setelah pemerintah berhasil menegosiasi pada pertemuan International Cacao Council ke-99 di Abudjan, Pantai Gading pada tanggal 8-13 April 2019.
Upaya menghadirkan produk kakao yang berkualitas dan berkelanjutan menjadi tanggung jawab bersama pemangku kepentingan di sepanjang rantai supply chain dari komoditas kakao di Tanah Air.
Selain itu, kolaborasi dengan asosiasi industri (ECA), global inisiatif seperti World Cacao Foundation, serta inisiatif lokal seperti “Beyond Chocolate Partnership”, akan menjadi faktor pendorong bagi negara-negara produsen untuk mengakselerasi kemampuannya menghadirkan produk kakao bermutu tinggi, berkelanjutan dan sesuai dengan permintaan pasar.
Beyond Chocolate Partnership adalah kesepakatan yang dibangun antara Deputi Perdana Menteri Belgia Alexander De Croo bersama-sama dengan pelaku industri, retail coklat di Belgia yang berkomitmen untuk menghasilkan produk coklat yang berkelanjutan.
Akses pasar untuk produk coklat yang berasal dari biji kakao yang berasal dari perkebunan yang tidak melibatkan pekerja anak (child labor), bukan hasil deforestasi (combating deforestation) dan mampu menghasilkan pendapatan yang memadai bagi petaninya (ensuring a livable income for local cocoa producers) terbuka sangat lebar untuk pasar Belgia.
“Indonesia harus mampu memanfaatkan akses pasar yang sangat menjanjikan ini melalui revitalisasi kebun-kebun coklat, penggunaan bibit berkualitas serta penguasaan teknik budidaya mengikuti konsep Good Agriculture Practice serta peningkatan pemahaman akan konsep keberlanjutan (sustainability) dari tanaman kakao yang diusahakan,” kata Wahida.