Jakarta, Gatra.com - Di bulan Ramadan, banyak pihak yang mengaitkan bisnisnya dengan keistimewaan hari raya Islam tersebut. Mulai dari iklan khas Ramadan sampai promo-promo potongan harga dilakukan pelaku usaha. Bagaimana sebenarnya Islam memandang "komersialisasi" ini?
"Momen komersialisasi keagamaan nampaknya negara kita juga sudah merasakan. Banyak yang menjadikan Ramadan ini sebagai bulan untuk meraih keuntungan material sebanyak-banyaknya," ucap Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhyiddin Djunaidi, ketika ditemui di Gedung MUI, Jakarta Pusat, Jumat (31/5).
Muhyiddin mengatakan kalau di luar negeri, kebiasaan menjadikan acara keagamaan untuk meraup keuntungan material sudah lazim. Sayangnya, masyarakat Indonesia akhir-akhir ini cenderung mengikuti tren tersebut. Banyak ritual keagamaan yang ujung-ujungnya dijadikan sekadat alat peraup untung.
"Mudah-mudahan hal ini tidak berkembang lebih besar lagi di negara kita," tambahnya.
Ia melihat umat Islam di Indonesia juga menunjukkan sifat yang terlalu konsumtif. Misalnya, merasa wajib membeli pakaian baru untuk Lebaran. MUI mengimbau hal ini seharusnya dihindari.
"Kita tidak boleh konsumtif, materialistis, dan hedonistik. Sedianya, puasa itu justru seharusnya membentuk manusia yang jauh dari sifat-sifat tersebut," tutupnya.
Oleh karena ini, Muhyiddin mengatakan dalam Islam dituntut pada 10 hari terakhir untuk melakukan iktikaf atau berdiam diri di masjid untuk mendekatkan diri pada Allah. Menurutnya, dengan melakukan iktikaf, umat Islam bisa kembali ke esensi dari sucinya bulan Ramadan.