Jakarta, Gatra.com - Praktisi hukum Otto Hasibuan menilai harusnya Sjamsul Nursalim (SN) tidak diseret dalam kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), karena perkaranya sudah kadaluarsa.
Otto di Jakarta, Kamis (30/5), menyampaikan, tidak ada relevansinya Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diterbitkan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dengan SN karena sudah selesai pada tahun 1998.
"Saya melihat sebenarnya tidak ada hubungannya jika perkara SAT kemudian dikaitkan kembali dengan SN, karena penyelesaian BLBI yang melibatkan SN sudah selesai pada tahun 1998," katanya.
Menurutnya, pemenuhan kewajiban yang dilakukan SN sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). Bahkan, pemerintah telah menegaskannya dalam akta notaris sekitar Mei 1998.
"Sementara SKL yang diterbitkan oleh SAT hanya penegasan di tahun 2004. Artinya, kalau mau dihubungkan dengan SN, secara hukum kasusnya sudah daluwarsa," katanya.
Otto yang merupakan kuasa hukum Sjamsul dalam perkara gugatan perdata melawan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Kamis (30/5), melanjutkan, begitupun soal aset BLBI yang dikelola oleh Perusahaan Pengelola Aset berupa tagihan utang petambak yang dijual pada tahun 2007, kliennya tidak bisa dipersalahkan.
Pasalnya, lanjut Otto, SN sudah menyelesaikan segala kewajibannya pada tahun 1998. Kemudian, karena sudah memenuhi kewajiban maka diterbitkannya MSAA. Dengan demikian, segala kewajiban itu sudah diselesaikan SN.
"Pemerintah sudah memberikan jaminan tidak akan menyelidiki dan menuntut SN secara pidana. Lagi pula masa barang yang sudah dijual oleh PPA [Perusahaan Pengelola Aset] ditagihkan ke SN," ujarnya.
Sedangkan terkait gugatan perdata di PN Tangerang, Otto beberapa waktu lalu menyampaikan, bahwa kliennya awalnya sama sekali tidak berniat untuk menggugat Auditor BPK, I Wayan Wara dan BPK yang menerbitkan hasil audit No.12/LHP/XXI/08/2017.
Pasalnya, hasil audit tersebut, lanjut Otto, yang menjadi dasar KP?K menjerat SN selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebagai tersangka dalam kasus korupsi SKL BLBI.
Gugatan diajukan setelah mencermati pertimbangan majelis hakim dalam ?putusan perkara SAT yang tidak menanggapi adanya kekeliruan atau kesalahan fatal dalam proses audit BPK tahun 2017.
Menurutnya, gugatan kliennya dengan nomor perkara 144/Pdt.G/2019/PN Tng didaftarkan sejak (12/2/2019) tersebut didaftarkan di PN Tangerang karena I Nyoman Wara selaku Tergugat I berdomisili di Tangerang.
Adapun alasan kenapa SN menggugat BPK, karena isi audit yang diterbitkan lembaga tersebut di mana laporannya dibuat oleh tergugat I, itu banyak merugikan SN. Pertama, karena audit BPK tahun 2017 menyimpulkan adanya kerugian negara terkait misrepresentasi atas MSAA yang dilakukan SN.
"Padahal audit tersebut dilaksanakan dengan melanggar UU dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara," katanya.
Alasan kedua, pihak Tergugat I, sebagai auditor BPK dalam pelaksanaan auditnya dinilai tidak independen, objektif, dan profesional karena membatasi diri hanya menggunakan data dari satu sumber, yaitu penyidik KPK, tanpa melakukan konfirmasi dan klarifikasi dengan pihak-pihak terkait. Padahal menurut Otto, konfirmasi dan klarifikasi adalah hal esensial yang wajib dilakukan dalam suatu proses audit.
"Alasan ketiga, akibat pelanggaran atau kesalahan dalam melakukan audit tersebut menyebabkan kesimpulan laporan audit BPK 2017 bertentangan dengan laporan audit BPK sebelumnya, yaitu laporan audit investigasi BPK 2002 dan audit BPK 2006 yang intinya menyatakan klien kami telah menyelesaikan kewajibannya berdasarkan MSAA," katanya.