Sleman, Gatra.com - Bekerja di bidang kemanusiaan menjadi pilihan hidup Heru Suparwaka. Ia kadang harus mengedepankan profesinya daripada urusan keluarga berkumpul saat momen-momen penting termasuk ketika Lebaran.
Selasa (28/5) siang, Heru tampak sibuk mengamati beberapa monitor di ruang kerjanya. Dua kacamata bergantian membantu penglihatan pria berumur 55 tahun ini.
Sesekali jari tangan kanannya bergerak dari tetikus ke tetikus komputer yang lain untuk menghitung atau melihat rekaman CCTV yang memantau perkembangan aktivitas Gunung Merapi.
Heru adalah satu dari tiga orang pengamat Gunung Merapi yang ditugaskan di Pos Pengamatan Gunung Merapi (PGM) Kaliurang, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pos ini berada sekitar 7 kilometer dari puncak Merapi. Dua petugas lain di pos ini adalah Lasiman Pecut dan Sunarta.
Tugas sebagai pengamat Gunung Merapi dijalani Heru sejak 1990. Dua tahun berjalan ia diangkat menjadi pegawai pramubakti. Selang dua tahun, yakni 1994, kariernya naik menjadi calon pegawai negeri sipil hingga akhirnya diangkat sebagai PNS.
Gejolak Merapi, atau yang biasa Heru sebut sebagai krisis Merapi, sudah dilaluinya beberapa kali yakni pada 1994, 2006, dan 2010, serta 2018 hingga aktivitas saat ini.
Pengamat Merapi harus pintar membagi waktu tugas bersama rekan-rekannya. Maklum saja, jumlah mereka sangat terbatas. Untuk itu, pembagian tugas harus diketahui oleh pimpinan dan setiap pengamat harus bertanggungjawab atas tugasnya.
"Pengamatan di pos itu harus 24 jam. Dengan personel yang terbatas, kami harus punya kesepakatan bagaimana membagi pola kerjanya. Tidak boleh kosong di pos," kata Heru kepada Gatra.com.
Setelah bekerja sebagai pengamat Merapi, pria asal Bintaran, Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta, ini menikahi perempuan asal Klaten, Jawa Tengah. Ia pun punya pesan khusus pada perempuan yang dicintainya itu.
"Ketika berumah tangga, masukan saya berikan ke calon istri. Saya bekerja di bidang kemanusiaan, menyangkut nyawa. Jadi kami tidak bisa (intens) bertemu," kata dia.
Dari pernikahannya itu, Heru dikaruniai seorang anak perempuan. Ketika berumur sekitar 3 tahun, putrinya sempat terkena tumpahan air panas dari termos.
Saat itu Heru sedang bertugas di PGM Kaliurang. Sejak awal Heru berpesan pada keluarga agar tak menghubungi saat ia bekerja. Namun karena saat itu keadaan genting, sang istri menghubungi Heru.
"Tapi saya juga tidak seketika itu langsung pulang. Saya minta supaya segera dibawa ke rumah sakit," katanya.
Padahal saat itu mertuanya juga sedang sakit dan opname di rumah sakit. Heru juga meminta agar mertuanya tidak diberitahu putrinya dirawat di rumah sakit.
"Mbah (mertua) di rumah sakit opname dan kamar putri saya dirawat berdampingan di kamar Mbah. Mbah tidak tahu kalau cucunya di rumah sakit," ucapnya.
Pada akhirnya, sang mertua meninggal di rumah sakit itu. Sedangkan putrinya, dengan sebagian kulit mengelupas karena air panas, berhasil sembuh.
Saat itu, hati kecil Heru bergejolak. Sebab baginya seorang pria atau bapak harus selalu ada dan menemani keluarganya dalam keadaan apapun. "Hati kecil kadang berontak," ucapnya lirih.
Bukan hanya momen duka itu, masa-masa bergembira bersama keluarga, terutama saat Lebaran, kerap dilewatkan oleh Heru. Menurut Heru, keluarga telah memahami tugasnya.
"Ada sesuatu hal kurang utuh tanpa kehadiran bapak. Tak hanya keluarga kecil tapi juga keluarga besar. Tapi mereka paham, meski kadang juga menanyakan," tuturnya.
Beruntung saat ini ada alat komunikasi yang semakin canggih. Selain itu, ada pula media sosial yang bisa dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan keluarga. "Cukup membantu sekali, sekarang juga ada audio dan video," ucapnya.
Sunarta, rekan Heru di PGM Kaliurang mengatakan, petugas harus tetap siaga di pos dalam kondisi apaaun. Sebab aktivitas Merapi tidak bisa diprediksi apalagi didikte.
"Lebaran tidak bisa berkumpul sudah biasa. Hari pertama Lebaran tidak bisa, tapi hari kedua atau hari ketiga kan bisa," ucap pria yang mengabdi sebagai pengamat Merapi sejak 1982 ini.