Jenewa, Gatra.com - Amerika Serikat keluar dari Konferensi Perlucutan Senjata Dunia pada Selasa (28/5). Langkah ini diambil AS sebagai tanda protes Venezuela yang kini dapat giliran jadi presiden pada forum yang disponsori PBB tersebut. Tahun lalu, AS juga memboikot konferensi ini saat Suriah menempati kursi kepemimpinan.
Pemerintahan Trump, yang telah meningkatkan sanksi terhadap kabinet Nicolas Maduro, belum mengesampingkan aksi militer untuk menghapus apa yang dianggapnya dan puluhan negara lain sebagai pemerintah tidak sah yang mencurangi pemilihan 2018.
Baca Juga: Protes Berlanjut, AS Tangkap Demonstran Depan Kedutaan Besar Venezuela
Seperti dilansir dari Reuters, saat Venezuela mengambil posisi presiden satu bulan dari perundingan Jenewa, duta besar perlucutan senjata AS, Robert Wood meninggalkan sidang. Dia sekaligus mengumumkan "boikot" sementara duta besar Maduro Jorge Valero.
"Kami harus berusaha melakukan apa yang kami bisa untuk mencegah negara-negara jenis ini memimpin badan internasional. Jelas, ketika Anda memiliki rezim seperti rezim Bashar [Assad] (Suriah) dan rezim Maduro yang memimpin badan ini, ada sesuatu yang secara mendasar salah dengan cara kami menjalankan urusan kami. Kita perlu memeriksanya," kata Wood kepada Reuters.
Delegasi Amerika Latin seperti Argentina, Brasil, dan Chili selaku pendukung pemimpin oposisi Venezuela, yang didukung AS, Juan Guaido, turut menjauh dari Konferensi. Suriah dan Rusia mengecam langgkah yang mereka sebut politisasi itu. Valero mengutuk langkah itu.
Baca Juga: Krisis Venezuela: Unjuk Rasa Massal Pendukung Guaido
"Kami menyesal bahwa perwakilan Amerika Serikat dan sekutu yang patuh terus membawa masalah ke forum ini. Padahal hal-hal itu berada di luar mandat, Ini bukan forum untuk kudeta," kata Valero.
Sebelumnya, lebih dari US$4,5 miliar aset Venezuela telah dibekukan atau disita di bawah sanksi yang dipimpin AS. Alhasil, melumpuhkan impor penting makanan dan obat-obatan. Maduro mempertahankan kontrol atas lembaga-lembaga negara Venezuela, menyebut Guaido boneka Washington, dan menyalahkan sanksi AS untuk krisis ekonomi hiperinflasi dan krisis kemanusiaan di negara mereka.