Jakarta, Gatra.com - Terdakwa penyebar berita bohong atau hoaks, Ratna Sarumpaet menilai tuntutan jaksa selama penjara 6 tahun terhadap dirinya tidak jelas.
Menurutnya tuntutan ini sangat berbau politis.
"Dasarnya emang enggak jelas. Saya kan udah bilang gak ada yang masuk pasalnya, tapi dipaksakan. Dari awal saya udah ngomong ini politik. Bagimana menjalankannya secara politis, menjelaskanya secara politis, aku enggak tahu," kata Ratna Sarumpaet usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Selasa (28/5).
Ratna menilai tuntutan yang diajukan Jaksa terkesan dipaksakan.
Menurutnya, jaksa memaksakan kebohongan Ratna di Twitter, sebagai bentuk keonaran.
"Gimana tuh banyak bohongnya di awal udah pakai ayat ayat suci (tuntutan) terus di belakang dia bohong juga. JPU udah tahu bahwa onar itu bukan Twitter, tapi dia maksa juga. Mereka (JPU) memaksakan," ujar Ratna.
Ratna menyebut, yang dapat dikatakan keonaran adalah aksi kericuhan 22 Mei 2019 di Jakarta lalu.
"Soal keonaran itu apa yang terjadi tanggal 21, 22, dan 23 Mei itu keonaran harus ada darah itu kan harus dibaca dong di buku (tuntutan). Tuntutan itu hiperbola dan terlalu di dramatisir," jelas Ratna.
Ratna dituduh menyebarkan berita bohong atau hoaks. Jaksa menilai, cerita bohong yang dirangkai Ratna seolah-olah benar terjadi penganiayaan oleh orang yang tidak dikenal di Bandung, Jawa Barat.
Cerita Ratna turut disertai dengan mengirim foto wajah lebam ke media sosial.
Menurut Jaksa, perbuatan itu mengakibatkan kegaduhan dan keonaran di masyarakat.
Baca Juga: Ratna Sarumpaet: Harapannya Ya Bebas, Apalagi?
Terlebih sejumlah tokoh ikut angkat bicara mengenai kabar yang disebar Ratna itu. Namun, belakangan Ratna kemudian mengakui bahwa foto lebamnya itu dampak dari operasi plastik yang dijalaninya.
Akibat perbuatannya, jaksa menuntut Ratna 6 tahun penjara karena melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana penyebaran berita bohong.