Jakarta, Gatra.com - Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dan para profesional dari berbagai organisasi menyampaikan petisi bahwa kerugian bisnis investasi berupa akuisisi participating interest (IP) di Blok Basker, Manta, Gummy (BMG) Australia bukan merupakan kerugian negara.
Dengan demikian, dalam petisi yang diteken Arie Gumilar selaku Presiden FSPPB yang diterima Gatra.com di Jakarta, Senin (27/5), disampaikan, tuduhan jaksa penuntut umum bahwa kerugian investasi di Blok BMG merupakan kerugian negara karena menguntungkan suatu korporasi adalah keliru.
"Alasannya, pertama dalam akuisisi blok migas ini telah melibatkan banyak mitra usaha (konsorsium) dan pemberhentian produksi merupakan kesepakatan bersama karena alasan keekonomian dari cadangan yang memang keberadaannya bersifat dinamis," kata Arie.
Kedua, lanjut Arie, pihak-pihak yang dituduh telah diuntungkan tersebut, sekalipun benar adanya, tidak pernah diperiksa dan atau dihadirkan ke persidangan oleh penuntut umum untuk didengar dan dibuktikan kebenarannya.
Bukan hanya itu, FSPPB menyampaikan, terkait akuisisi participating interest (PI) sebesar 10% di Blok BMG dari ROC Oil Company (ROC) pada tahun 2009 tersebut, direksi Pertamina sudah mendapatkan pembebasan dan pelunasan tanggung jawab (acquiet et de charge) dari pemegang saham yakni Menteri BUMN melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahun 2010-2013.
Arie melanjutkan, sesuai fakta persidangan, PI di Blok BMG sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2009, dan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) Pertamina 2009-2013. Direksi Pertamina juga telah mengikuti prosedur atau sesuai dengan aturan yang berlaku dan dengan prinsip kehati-hatian.
Selain itu, terhadap aksi bisnis Pertamina ini juga telah dilakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) jenis Audit Investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2012.
Kesimpulan auditnya, kata Arie, BPK menyatakan tidak ada temuan kerugian keuangan negara. Sehingga, tidaklah tepat penuntut umum masih menuduh direksi telah melakukan korupsi untuk aksi bisnis korporasi yang telah mendapatkan release & discharge dari pemegang saham yang nota bene juga pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN.
"Hal ini telah menunjukan adanya ketidakpastian hukum di antara instansi pemerintah sendiri. Ketidakpastian hukum ini telah dan akan meresahkan para direksi BUMN/BUMD dalam berinvestasi guna menjaga pertumbuhan dan mengembangkan usahanya," kata Arie.
Kalaupun pengadilan tetap menyatakan kerugian bisnis ini sebagai kerugian negara, tentunya akan menjadi presiden buruk bagi direksi seluruh BUMN/BUMD.? Serta menjadi momok menakutkan sehingga para direksi tidak akan berani mengambil keputusan bisnis yang berisiko tinggi.
Akibatnya, peran dan tugas BUMN/BUMD sebagai penggerak roda perekonomian nasional akan menjadi sulit untuk dilaksanakan. Adapun bagi sektor Migas, ini mengancam ketahanan energi nasional.
Terlebih, lanjut Arie, industri hulu migas mempunyai risiko tinggi, sarat modal dan teknologi, penuh ketidakpastian namun mempunyai kans meraih keuntungan yang sangat besar.
Adapun tujuan IP di Blok BMG merupakan misi mulia, yakni untuk meningkatkan produksi minyak nasional karena Indonesia sudah menjadi net importir sejak tahun 2003. Selain itu, cadangan dalam negeri sudah mulai menipis. Jika terus menerus impor Migas, pastinya akan menguras devisa negara.
FSPPB mengharapkan agar petisi ini menjadi pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam memutus perkara korupsi investasi Blok BMG yang membelit terdakwa Karen Agustiawan.
"Dapat menjadikan suatu alasan yang tepat dan benar untuk membebaskan Karen Agustiawan dari segala tuntutan semata-mata hanya demi penegakan hukum yang berkeadilan," kata Arie.
Sebelumnya, tim jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menuntut Karen dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti sejumlah Rp284 miliar.
Menurut penuntut umum, terdakwa Karen terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.?