Jakarta, Gatra.com - Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi resmi mengugat hasil Pemilu Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam gugatannya, BPN menyebut lima jenis kecurangan, seperti penyalahgunaan anggaran belanja negara dan atau program kerja pemerintah, ketidaknetralan aparat negara (polisi dan intelijen), penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, pembatasan kebebasan media dan pers, serta diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakkan hukum.
Menanggapi gugatan tersebut, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Irma Chaniago melihat, bukti-bukti yang diajukan BPN dari satu step ke step lainnya selalu berubah, step pertama misalnya BPN dianggap menggiring opini publik dengan strategi TMS (Terstruktur, Sistematis, Massif) melalui statement-statement hoaks dengan mendelegitimasi penyelenggara dengan slogan “kalo mereka kalah pasti karena dicurangi “.
Step kedua, lanjutnya, pada saat melaporkan kecurangan TMS ke Bawaslu, BPN tidak punya bukti kuat, karena hanya melampirkan kliping - kliping Berita online.
"Ini kan justeru mereka sendiri teriak-teriak dan menuding-nuding lalu di muat di media, dan berita-berita tersebut yang digunakan sebagi bukti. Tentu saja laporan dengan bukti-bukti yang bukan saja Lemah, tapi abal abal itu ditolak," katanya ketika dihubungi Gatra.com, Senin (27/5).
Step ketiga, Politisi partai Nasdem ini menambahkan, jalan buntu yang terpaksa ditempuh adalah peristiwa 22 Mei dengan harapan bisa TMS seperti tragedi 98.
"Step terakhir adalah Jalan buntu dengan menjilat ludah sendiri yaitu ke MK," jelasnya.
Di sisi lain, Irma menduga, karena BPN tidak punya bukti yang kuat perihal kecurangan, maka narasi-narasi politik kembali dipilih.
Seperti, penggunaan program Kerja pemerintah, padahal selama ini semua anggota legislatif dari seluruh partai juga menggunakan program Kerja pemerintah untuk ke konsituen yang diwakili ditiap daerah sebagai alat sosialisasi program kerja.