Jakarta, Gatra.com - Mantan Ketua Mahkamah Agung, Gayus Lumbuun, turut mengamati kericuhan 21-22 Mei lalu di beberapa titik daerah Jakarta. Diketahui, aksi tersebut menelan delapan korban jiwa hingga ratusan lainnya luka-luka.
Polisi sendiri sudah menetapkan lebih dari 250 orang sebagai tersangka. Hingga kini, polisi juga masih menelusuri dalang intelektual di balik gerakan tanpa identitas itu.
Kericuhan tersebut sempat meninggalkan rasa takut bagi warga yang tinggal di kawasan kericuhan, seperti Petamburan, Slipi dan Thamrin. Banyak fasilitas dirusak, adanya lemparan batu hingga botol di jalanan. Masyarakat luar Jakarta pun tak sedikit yang mengurungkan niatnya untuk mengunjungi daerah tersebut selagi dalam kondisi mencekam.
Lantas, apakah kerusuhan itu sama dengan tindakan terorisme, yang tujuannya menebar ketakutan?
Gayus menjawab, untuk memastikan itu terorisme atau tidak, perlu menunggu pemeriksaan lebih lanjut yang dilakukan oleh kepolisian. "Saya tidak bisa melihat faktanya (jika) secara aturan. UU Terorisme Nomor 5 tahun 2018, itu ada ukurannya. Penyidik yang tahu. Kalau dilihat secara kasat mata tidak bisa," kata Gayus saati dihuhungi Gatra.com, Sabtu (24/5).
Gayus menilai, terlalu dini untuk menyebut kerusuhan itu sebagai tindakan terorisme. Sebab menurutnya, terorisme adalah suatu tindakan untuk mengungkapkan keinginan seseorang dan kelompok untuk melakukan tindakan yang bersifat kekerasan atau mengancam kedaulatan.
"Yang pasti teror itu menimbulkan ketakutan. Nah aksi kemarin ini sudah sampai puncak itu atau tidak? Jadi harus sampai menimbulkan suatu kekuatiran yang amat sangat kepada publik. Ya memang kemarin ada juga orang yang merasa takut, kuatir. Jadi (teror) harus ada kemampuan yang membuat orang takut, terintimidasi, disudutkan, digertak," papar profesor kelahiran Manado ini.
Terorisme, lanjutnya, adalah satu kejahatan yang perlu diteliti lebih dalam dan dipastikan lagi. Bentuk terorisme berbeda dengan kejahatan lain, seperti pencurian atau pembunuhan. Terorisme punya konsep dan tujuan.
"Kalau saya menghubungkan dengan konsep yang menggambarkan teror atau tindakan yang menakutkan tadi, ya itu bisa teror. Tapi kan kita tidak di lapangan, saya tidak bisa menjustifikasi seperti itu," tegas Gayus.
Aksi kericuhan kemarin memang sudah melalui semacam pemberitahuan sebelumnya. Ini yang menurut Gayus, berbeda dengan aksi teror. Sebab aksi teror dilakukan secara tiba-tiba. "Apakah pemberitahuan itu sesuai dengan kondisinya? Seperti apa bentuknya?" tanya Gayus.
"Jadi sulit untuk mengukur kejadian kalau kita tak melihat fakta-faktanya," imbuhnya.
Lebih lanjut, Gayus menjelaskan bahwa teror tak melulu soal penunjukkan rasa ketidakpercayaan terhadap negara atau pemerintah. Ia memaparkan, teror itu ada banyak jenisnya.
Namun yang menjadi catatan dari Gayus, teror itu bisa dipandang sebagai hal yang positif jika melihat adanya kehendak seseorang atau kelompok yang ingin adanya perubahan yang baik. Tapi kerap kali, cara teror tidak melalui jalur hukum atau bahkan tak manusiawi.
"Kalau yang bukan teroris menyampaikan kehendak pribadi atau umum dengan dasar, yakni undang-undang. Teror itu bagian dari will of people, keinginan masyarakat. Nah keinginan ini diukur, dia ini teroris atau bukan, hasilnya bisa dilihat dari kemauan atau tujuan dia melakukan aksi. Dia melakukan kebaikan bersama atau tidak," papar pria berusia 71 tahun ini.
Soal motif teror, Gayus menerangkan ada banyak hal yang menjadi motivasi para teroris menjalankan aksinya, mulai ideologi hingga ekonomi. Namun, lagi-lagi motif tersebut harus dilihat dengan pendekatan yang jelas, terlebih lagi jika ditemukan uang dalam pemeriksaan. Ia menilai tak boleh ada asumsi prematur soal penyogokan.
"Peran penyidik penting untuk menentukan motif dari uang, batu, alat-alat peraga yang ditemukan," papar Gayus memberi contoh pada aksi kisruh kemarin.
Gayus menambahkan, terorisme itu tumbuh dari masyarakat yang kecewa. Jika dilihat dari kacamata sosiologi hukum, mereka adalah orang-orang yang memiliki kekecewaan berat, baik kepada lingkungan maupun kepada pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah wajib meminimalisir segala tindakan yang menjurus pada aksi teror. Gayus menerangkan, langkah tersebut tak cukup hanya dengan pemberian hukum pidana atau ancaman hukuman mati.
"Harus ada satu hal yang dikenal dengan sosiologi hukum, di mana secara sosial masyarakat itu diukur kekecewaannya sampai tingkat apa," kata advokat senior ini.
Gayus menegaskan, hukuman mati untuk para teroris justru tak memberi efek takut kepada mereka. Bahkan, lanjutnya, ada prinsip dari teroris yang akan tetap menjalankan ideologinya meski akan menjalani hukuman mati.
"Mereka masih mau menjalankan ideologinya selama hidup, (ibarat) sebanyak rambut di kepalanya. Artinya, sudah dihukum mati pun tidak ada ketakutan terhadap ancaman pidana," papar Gayus.
Mengacu pada 'tawaran' solutifnya tadi, Gayus merasa Indonesia perlu menegakkan hukum berlandaskan sosiologi hukum. "Hukum itu harus bermanfaat untuk masyarakat, bukan represif saja," tandas Gayus.