Jenewa, Gatra.com - Resiko penggunaan senjata nuklir saat ini yang tertinggi sejak perung dunia II. Hal ini disampaikan oleh Direktur Institut PBB untuk Riset Pelucutan Senjata, Renita Dwan pada Selasa (22/5), seperti dilansir dari Reuters.
"Ini masalah yang harus ditanggapi secara serius oleh dunia," tegasnya. Ia menjelaskan semua negara pemilik senjata nuklir telah memodernisasi persenjataan mereka, sebagian karena kompetisi strategis antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Perjanjian pengendalian senjata tradisional juga telah terkikis dengan munculnya kebangkitan jenis perang baru, dengan meningkatnya jumlah kelompok bersenjata, pasukan swasta, dan teknologi baru yang mengaburkan upaya pertahanan dan penyerangan, ungkap Renita di Jenewa
"Dengan perjanjian pelucutan senjata yang mengalami kebuntuan dua dekade terakhir, 122 negara menandatangani perjanjian untuk melarang senjata nuklir, sebagian karena frustasi dan sebagian karena mengakui resikonya," ujarnya.
Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons) didukung oleh Kampanye Internasional untuk Menghapus Senjata Nuklir (ICAN) yang memenangi Hadiah Nobel Perdamaian pada 2017.
Perjanjian tersebut telah mengikat 23 dari 50 negara yang disyaratkan agar dapat berlaku, termasuk Afrika Selatan, Austria, Thailand, Vietnam, Kuba, dan Meksiko. Hal ini ditentang oleh AS, Rusia, dan negara pemilik senjata nuklir lainnya.
"Bagaimana kita berpikir mengenai hal tersebut dan bagaimana kita bertindak terhadap resiko dan manajemennya, menurut saya cukup signifikan dan menjadi pertanyaan penting yang tidak direfleksikan penuh di Dewan Keamanan PBB," ungkapnya.