Yogyakarta, Gatra.com – Meski berstatus level tiga atau waspada selama setahun ini, Gunung Merapi belum masuk kategori membahayakan. Hal ini dinyatakan Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebagai antisipasi letusan Merapi, Pemkab Sleman melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tetap mengharapkan masyarakat terus waspada.
Kondisi terbaru Merapi ini disampaikan Kepala BPTKG Hanik Humaida dalam diskusi dan buka puasa bersama bertajuk ‘Merawat Ketangguhan Warga Merapi’ di kantor BPPTKG, Selasa (21/5) petang,
“Sejak 2012, Merapi telah mengalami enam fase yang seharusnya mengarah ke erupsi besar namun hal itu tidak terjadi,” kata Hanik.
Enam fase tersebut yaitu fase intrusi magma di dapur magma, fase intrusi di konduit magma, fase intrusi di kantong magma, fase intrusi di konduit dangkal, fase ekstrusi dan pertumbuhan kubah lava, serta fase terakhir ekatrusi dan pembentukan awan panas disertai guguran lava.
Hanik menjelaskan, pertumbuhan kubah lava pada 11 Agustus 2018 ternyata bersifat stagnan di 3.000 meter kubik per hari. Kondisi ini hanya menimbulkan guguran awan panas dan awan pijar.
Menurut Hanik, kubah lava tumbuh stagnan karena laju magma ke permukaan sangat pelan dan demikian juga dengan ekstrusinya. Kondisi ini berbeda dengan letusan 2006-2010. Saat itu, Merapi tumbuh pesat hingga jutaan meter kubik.
“Sampai hari ini, total pertumbuhan kubah lava Merapi hanya 450.000 meter kubik. Dalam skenario terburuk di masa mendatang, dengan pertumbuhan ini, erupsi bisa dikatakan tidak terlalu mengkhawatirkan atau membahayakan,” tandasnya.
Berdasarkan penghitunganan BPPTKG, jika terjadi erupsi maka jangkauan lontaran guguran lava pijar dan awan panas sejauh 3,2 kilometer.
“Letusan besar ini masih kecil kemungkinannya. Di sejarah Merapi, kubah lava dan awan panas tidak pernah gugur menjadi awan panas. Bisa kami pastikan erupsi yang terjadi akan bersifat efusif atau lelehan,” katanya.
Karena Merapi tidak terlalu membahayakan, Hanik merekomendasikan masyarakat beraktivitas normal sesuai jarak aman yang telah ditetapkan. Apalagi, menurutnya, guguran lava pijar ini bisa dimanfaatkan sebagai atraksi wisata karena merupakan fenomena alam yang langka.
Diskusi sore ini turut dihadiri narasumber Kepala BPBD Sleman Joko Supriyanto, Kepala Dinas Pariwisata Sleman Sudarningsih, Dosen Fakultas Geologi UGM Agung Harijoko, dan pakar mitigasi bencana UPN Yogyakarta Eko Teguh Paripurno.
Menyikapi kondisi Merapi, Joko menyatakan masyarakat di kawasan rawan bencana akan terus waspada secara mandiri atau sesuai instruksi pemerintah.
“Kami telah memiliki 47 desa siaga bencana dan 63 sekolah siaga bencana di kecamatan yang masuk kawasan rawan bencana,” katanya.
Selanjutnya, Pemkan Sleman akan memberi perhatian penuh pada jalur evakuasi yang selama ini tak terawat. Sebab jalur ini digunakan sebagai jalur utama penambangan pasir.
Adapun Agung mengatakan Pemkab Sleman akan mengeluarkan Peraturan Bupati yang menetapkan jalur-jalur evakusi sebagai jalur utama saat bencana. Dengan penetapan ini, jalur evakuasi akan dibenahi dan diperbaiki kerusakannya.