Jakarta, Gatra.com – Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyoroti aturan diskriminatif terhadap petani tembakau. Padahal, Industri ini berperan penting terhadap penerimaan negara melalui pajak dan cukai. Diketahui, setiap tahun cukai industri tembakau berkontribusi sebesar 10,5% dari penerimaan perpajakan.
Langkah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam meyusun rekomendasi impor tembakau (RIT) didukung penuh oleh AMTI, meski masih terkendala banyak hal.
“RIT ini memang belum ada, tapi masih dalam tahap pembahasan oleh Kemenperin. Apalagi, dengan adanya pembatasan impor tembakau dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuat izinnya semakin ditekan,” kata Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno saat diskusi "Industri Hasil Tembakau sebuah Paradox bersama AMTI" di Komplek Kejaksaan Agung Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (21/5).
Impor tembakau diperlukan bagi petani saat musim hujan. Sebab, tembakau hanya dapat tumbuh di ladang yang tandus. Selain persoalan jumlah persediaan stok, hal ini juga berdampak pada lapangan pekerjaan. Berdasarkan data dari Kemenperin tahun 2018, ada 2 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600.000 karyawan industri tembakau dan 2 juta ritel tembakau.
“Dampaknya jika tembakau resmi dikurangi atau bahkan dihilangkan justru akan semakin menambah penggangguran baru,” jelas Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo.
Soeseno menambahkan kebijakan impor tembakau berada di Kemendag. Sehingga hanya Kemendag yang dapat memutuskan ketentuannya. Paling tidak, AMTI tetap berupaya memperjuangkan kemajuan ekonomi para petani dengan memanfaatkan kearifan lokal.