Jakarta, Gatra.com - Kepolisian mengancam akan membubarkan paksa aksi unjuk rasa penolakan hasil rekapitulasi suara nasional pemilu 2019 jika tidak mengikuti aturan. Aksi unjuk rasa harus diakhir paling lambat saat Salat Tarawih.
Ancaman tersebut disampaikan Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Dedi Prasetyo. Hal yang sama juga berlaku untuk pengunjuk rasa pada Rabu (22/5) besok.
“Batasan akhir toleransi yang bisa diberikan pada massa adalah Salat Tarawih. Usai itu dimohon untuk tidak menggangu hak dan kebebasan masyarakat lainnya dan tidak mengganggu keamanan masyarakat,” tegas dia di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (21/5).
Dedi menjelaskan sikap tegas kepolisian tersebut semata-mata menjalankan untuk menjalankan aturan Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Dalam unjuk rasa besok, Dedi menegaskan tidak boleh ada yang menginap di depan KPU.
“Maksimalnya selesai Salat Tarawih (jam 21.00) semua harus kembali. Itu toleransi yang diberikan aparat. Kita antisipasi hingga tanggal 25 atau tiga hari paska pengumuman KPU,” imbuhnya.
Seperti diketahui, beredar Surat Telegram terkait siaga 1 di ibu kota Jakarta yang dikeluarkan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian dengan nomor 281/V/OPS.1.1.1/2019. Surat itu pun telah ditandatangani oleh Asisten Kapolri bidang Operasi Inspekatur Jenderal Martuani Sormin yang diedarkan pada Senin (20/5) lalu.
Surat itu mengacu kepada Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, rencana operasi Mantap Brata 2018. Selain itu, siaga 1 ini juga merupakan hasil rapat koordinasi dari Kapolri dan perkembangan situasi terkini.
Status siaga I sendiri merupakan situasi di mana pihak kepolisian menugaskan 2/3 kekuatannya untuk meningkatkan kewaspadaan. Polri pun telah menetapkan status siaga I selama lima hari, yakni dimulai pada 21 Mei hingga 25 Mei 2019.