Jakarta, Gatra.com - Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) menetapkan 4 orang tersangka korupsi pengadaan kapal patroli di Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"KPK telah menyelesaikan penyelidikan dengan mengumpulkan informasi dan data yang relevan hingga terpenuhinya bukti permulaan yang cukup, maka KPK meningkatkan perkara ini ke tingkat penyidikan," ujar Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (21/5).
Menurut Saut, 3 orang ditetapkan sebagai tersangka karena terkait dalam korupsi pengadaan 16 unit Kapal Patroli Cepat (Fast Patrol Boat) pada Direktorat Penindakan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tahun Anggaran 2013-2015. Mereka adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Istadi Prahastanto (IPR); Ketua Panitia Lelang, Heru Sumarwanto (HSU); Direktur Utama PT Daya Radar Utama (DRU), Amir Gunawan (AMG).
Mereka ditetapkan sebagai tersangka karena 16 kapal patroli cepat itu tidak sesuai ketentuan dan sertifikasi dual-class seperti yang dipersyaratkan di dalam kontrak. Bahkan, dalam uji coba kecepatan tidak dapat mencapai kecepatan seperti yang dijanjikan. Meskipun mengetahui hal itu, KPK menilai pihak Ditjen Bea dan Cukai tetap menerima dan menindaklanjuti dengan pembayaran terhadap 16 kapal tersebut.
“KPK menduga selama proses pengadaan IPR [Istadi Prahastanto] selaku PPK, bersama-sama telah menerima 7.000 Euro sebagai Sole Agent Mesin yang dipakai oleh 16 kapal patroli cepat,” kata Saut.
Akibatnya, negara diduga mengalami kerugian hingga Rp117 miliar dalam proyek pengadaan kapal patroli cepat ini.
Sementara pada perkara kedua, terkait dengan pembangunan 4 unit kapal 60 meter untuk Sistem Kapal Inspeksi Perikanan Indonesia (SKIPI) pada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Tahun Anggaran 2012-2016.
Dalam kasus ini, KPK tetapkan dua tersangka, yakni PPK, Aris Rustandi (ARS) dan Dirut PT DRU, Amir Gunawan yang juga kembali menjadi tersangka.
Empat kapal SKIPI ini juga diduga tidak sesuai spesifikasi yang disyaratkan dan dibutuhkan. KPK mengidentifikasi ada sejumlah kejanggalan, di antaranya kecepatannya yang tidak mencapai syarat yang ditentukan, kekurangan panjang kapal sekitar 26 cm, mark up volume plat baja dan aluminium, dan kekurangan perlengkapan kapal lainnya. Negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp61 miliar.
Aris Rustandi selaku PPK adalah orang yang menandatangani kontrak pekerjaan pembangunan SKIPI Tahap I dengan nilai kontrak US$58 juta dengan PT DRU. Setelah pembangun kapal SKIPI rampung, Aris membayar seluruh termin pembayaran kepada PT. DRU senilai Rp744 miliar. Menurut KPK, biaya pembangunan 4 unit kapal SKIPI hanya sejumlah Rp446 miliar.
Lebih lanjut Saut juga mengatakan bahwa Aris bersama timnya juga terindikasi menerima gratifikasi dari PT DRU. “Pada Februari 2015, ARS dan Tim Teknis melakukan kegiatan FAT (Factory Acceptance Test) ke Jerman. Untuk kegiatan tersebut, PPK dan Tim Teknis diduga menerima fasilitas dari PT. DRU sebesar Rp300.000.000,” kata Saut.
Atas perbuatan tersebut, KPK menyangka keempat orang di atsas diduga melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.