Jakarta, Gatra.com - Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Anita Wahid, mengatakan, hoaks dalam pilpres mulai merebak pada tahun 2014 dan kembali digunakan pada 2019. Hanya saja, polanya berbeda.
"Ketika 2014, hoaks digunakan untuk menyerang satu kandidat tertentu, namun di 2019 ini, kedua kubu saling menyerang satu sama lain," kata Anita usai acara diskusi bertajuk "Berita Dusta di Antara Kita" di Jakarta, Sabtu (18/5).
Anita mengungkapkan, pada Pilpres 2014 lalu, hoaks terbukti ampuh menggerus elektabilitas kandidat. Namun pada Pilpres 2019, itu tidak berlaku karena masyarakat sudah memiliki kesadaran tinggi mengenai hoaks.
Selain itu, lanjut Anita, dikarenakan polarisasi pendukung kandidat sudah terbentuk. Adapun tujuan penyebaran hoaks pada 2019 yakni untuk memicu kemarahan, karena setelah seseorang terkena hoaks tentang suatu hal, akan marah dan benci terhadap objek tersebut.
Anita mengatakan, adanya upaya untuk membangun rasa ketidakpercayaan terhadap proses penyelenggaraan Pemilu, sengaja dibangun sejak awal masa kampanye. Namun Mafindo mengaku tidak mempunyai kapasitas untuk menyebut pihak mana yang melakukannya.
Anita mengungkapkan, pihaknya mendirikan Mafindo karena merebaknya hoaks pada Pilpres 2014 yang membuat masyarakat atau publik terbelah. Saat itu, sudah beberapa komunitas untuk memerangi dan memverifikasi hoaks, namun pada 2016, hoaks kian menjadi. Kondisi tersebut mendorong pendirian Mafindo.
"Tetapi ketika akhir tahun 2016, masalah hoaks semakin tinggi dan berbaur dengan urusan agama, akhirnya komunitas-komunitas kecil tersebut bergabung menjadi Mafindo," ungkapnya.