Sleman, Gatra.com - Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berencana memanfaatkan kembali puing bangunan atau debris di daerah terdampak gempa di Palu, pada 28 September 2018 lalu.
Kajian tata kelola dan penggunaan debris sebagai material daur ulang guna membangun kembali daerah tersebut pun tengah disiapkan.
Peneliti Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman Balitbang Kementerian PUPR Yudha Pracastino menjelaskan, puing bangunan atau debris dari rumah dan gedung yang rusak pasca-gempa masih banyak terdapat di kawasan Teluk Palu, perbatasan Kabupaten Donggala dan Kabupaten Sigi.
“Pembuangan debris saat ini dipusatkan di lahan TPA Kawatuna, tujuh kilometer dari Kota Palu. Total potensi timbunan puing dari bangunan dan gedung sebesar 17.070 meter kubik,” ujar Yudha kepada Gatra.com di kantornya di Sleman, Jumat (17/5).
Padahal, di sisi lain, kata Yudha, terdapat kebutuhan besar atas pembangunan kembali hunian, gedung, dan infrastruktur pendukung lainnya dan membutuhkan banyak material setelah bencana tersebut.
“Debris bisa memenuhi kebutuhan itu sebagai material bangunan daur ulang berupa batako. Tata kelola debris mesti melalui proses produksi meliputi pemilahan, penghancuran, pencetakan, dan penyimpanan dalam bentuk batako,” kata dia.
Yudha dan tim telah melakukan riset lapangan dengan menyambangi lokasi-lokasi pusat debris di Palu dan sekitarnya. Mereka juga telah mengadakan diskusi dengan para pemangku kepentingan hingga menggelar survei ke masyarakat.
Untuk mengolah debris, puing bangunan mesti dipilah. Berdasarkan riset, Yudha mengemukakan tenaga persampahan bisa mengambil dan memisahkan debris yang masih berserakan. Langkah lain melibatkan perajin batako dengan menerapkan skema padat karya oleh pemerintah dan lembaga swadaya.
Setelah itu, puing dihaluskan oleh mesin penghancur mobile yang akan mendatangi lokasi debris sesuai kebutuhan. Alternatif lain adalah bekerjasama dengan perusahaan tambang yang memiliki mesin crusher, termasuk BUMN yang beroperasi di sana.
“Di Palu, ada 5-6 produsen batako atau paving dengan mesin cetak dan 200-250 perajin manual. Mereka mau memanfaatkan potensi debris, tapi ingin kondisi debris telah terpilah, tanpa campuran bahan lain, hancur hingga halus, dan melihat bukti contoh produknya lebih dulu,” tuturnya.
Menurutnya, kemauan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan tata kelola debris pun lumayan tinggi, yakni 64% responden. Sebanyak 56% responden masyarakat pun setuju pemanfaatan debris sebagai bahan untuk membuat paving, batako, dan filler.
Yudha berkata, penggunaan debris sebagai batako sesuai dengan kebutuhan pemerintah dalam menyediakan hunian tetap bagi masyarakat Palu yang terdampak gempa. Selain itu langkah ini menerapkan padat karya, membersihkan lingkungan, dan menurunkan risiko penyakit yang mungkin timbul karena debris yang tidak terkelola.
“Produk debris dapat memenuhi kebutuhan material pada pembangunan kawasan terdampak gempa, seperti bantuan hunian tetap, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau,” ujarnya.