Jakarta, Gatra.com - Peneliti Ecosoc Institute, Sri Palupi menyebut, capaian 21 tahun reformasi di Indonesia belum menunjukkan hasil yang signifikan dalam sektor pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) atau demokrasi.
Sri menjelaskan, meski Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia meningkat, namun masih terjadi ketimpangan-ketimpangan yang tinggi, terlebih dalam pelayanan publik. Peran negara dalam melayani korban kasus kekerasan, terlebih kekerasan seksual, dinilai masih minim.
"Kasus-kasus ini bisa diangkat (negara) kalau dapat dukungan dari masyarakat," ujar Sri dalam diskusi publik 'Perempuan dan Gerakan Sosial di Indonesia', Gedung Juang 45, Jakarta Pusat, Kamis (16/5).
Sri juga menyoroti bagaimana sikap korban kekerasan seksual yang pernah ia dampingi sebelumnya.
Sri menyebut, meyakinkan korban untuk tetap berjuang mendapat keadilan itu sulit.
"(Pada) kerusuhan Mei (1998). Betapa seringnya kami ini justru dimarahi banyak pihak. 'Kalian ngapain urus (korban), enggak ada artinya'. Datang ke dokter juga begitu (responsnya)," kenang Sri.
Respons kurang baik ini justru membuat banyak korban kekerasan seksual kerusuhan Mei 1998 mundur dan memilih tak merebut keadilan yang harusnya mereka terima.
"Memang korban harus diajak untuk memperkarakan ini, karena bukan sekadar untuk dia saja, tetapi supaya tak ada perempuan lain yang menjadi korban yang sama," terang Sri.
Sri menegaskan, kasus kekerasan secara umum harus mendapat dukungan dari masyarakat, terlebih jika pelakunya punya kuasa.
"Dia harus dihentikan dengan cara dibogkar kejahatannya dengan berbagai upaya," kata Sri.