Jakarta, Gatra.com - Pimpinan Pusat Satuan Relawan Indonesia Raya (PP Satria) mengecam keras dugaan pencurian suara yang menimpa petahana calon anggota legislatif, Nizar Zahro di Dapil Jatim XI, khususnya di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.
“Tak tanggung-tanggung, para perampok mengambil 58.408 suara dari Caleg Nizar Zahro. Ada tiga Parpol yang mendapatkan penambahan signifikan. Sementara suara Partai Gerindra terkuras kering kerontang,” tegas Sekretaris Jenderal PP Satria, Yoni Triharto kepada Gatra.com, Kamis, (16/5), malam.
Dugaan pencurian suara terjadi di hampir semua kecamatan. Modusnya, sambung Yoni, dengan membabat angka milik Nizar Zahro di Form DA1 (Rekap tingkat Kecamatan), dan dipindahkan atas nama caleg atau parpol lain di Form DB1 (Rekap tingkat Kabupaten).
“Nizar Zahro baru menyadari suaranya telah dirampok setelah dilakukannya Pleno di tingkat kabupaten. Sebagai korban dirinya sudah melaporkan perampokan tersebut ke Pleno Propinsi dan Pusat. Namun sayang, KPU sebagai penyelenggara melempar isu ini ke Bawaslu,” terang dia.
Menurut Yoni, perampokan suara ini tidak hanya sekedar isu. Para pelaku menjadikan institusi sebagai ‘kuda troya’ demi kepentingan pribadi. Dengan kasus ini, PP Satria meminta agar KPU bisa menjadikan form DA1 yang berasal dari DA Plano dan berasal dari C1 sebagai dasar perhitungan suara sehingga sertifikat DB 1 KPUD Bangkalan sah.
“Bawaslu agar membawa kasus ini ke ranah hukum, dan menjerat jaringan perampokan suara rakyat dengan hukuman seberat-beratnya,” tegas dia.
Rapat Pleno rekapitulasi terbuka hasil penghitungan suara Pemilu 2019 tingkat KPU Jawa Timur, Jumat (10/5) malam, kembali diwarnai hujan protes hingga rapat harus diskor.
Protes mula-mula disampaikan Nizar Zahro, saksi dari Partai Gerindra. Nizar yang juca calon DPR RI dari Dapil Madura mengaku merasa dirugikan karena suaranya banyak yang hilang. Ia menyebut sebanyak 58.363 suara.
"Suara saya hilang di 18 kecamatan,” kata Nizar seraya menunjukkan form D1 yang ditandatangani dan distempel PPK.
“Angka-angka manipulatif,” tegasnya. Sebab, lanjut Nizar, form DB-1 untuk DPR RI berbeda dengan form D1.
“Model begini tidak boleh dibiarkan. Ini namanya demokrasi perampok,” Nizar menegaskan dengan suara lantang.
Wem Fernandez