Yogyakarta, Gatra.com - Sejumlah seniman muda memamerkan karya seni grafis dengan teknik sablon. Karya-kara sablon ini menonjolkan detail estetis secara sederhana yang dapat dinikmati anak muda.
Di antara bangku-bangku kayu dan aroma kopi di Awor Gallery and Coffee di bilangan Terban, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, sejumlah karya sablon dipajang di dinding kafe yang merangkap galeri itu.
Selama sepuluh hari dan berakhir pada Kamis (16/5) ini, para seniman muda menampilkan karya-karya itu di pameran bertajuk Gesut Gesit #1.
Salah satu karya yang mencolok adalah ilustrasi serba hitam yang menampilkan kucing, manusia yang telentang, tengkorak, gunung, dan sarang laba-laba. Sederhana, kekinian, dan magis.
Karya ukuran A4 berjudul Pythonissam ini kreasi Fx Mahisa Gigat. Selain pada kertas, karya ini juga telah diwujudkan sesuai fungsinya melalui sablon. Sebuah kaos putih dengan ilustrasi tersebut digantung di sebelah karya.
"Karya ini satu dari dua karya di pameran ini yang sudah laku terjual. Pembeli dapat satu paket, karya di kertas dan kaosnya," kata Wada, manajer Awor Gallery, meski tak menyebut harga karya tersebut.
Menurut Wada, karya-karya di pameran ini buatan seniman-seniman muda, bahkan sebagian masih mahasiswa. "Kami tampilkan di sini supaya bisa dinikmati pengunjung kafe," kata dia.
Pengulas pameran ini Mega Nur tak yakin atas ulasan pemerhati seni Bambang Budjono yang menyebut panggung seni grafis lebih redup. Pendapat Budjono bertolak dari slogan seni rupa jiwa ketok milik Sudjojono yang tak mungkin hadir di seni grafis.
Menurutnya, seni grafis tercipta secara tidak langsung dari seniman, bukan seperti seni rupa terutama lukisan yang hadir lewat sapuan kuas langsung ke kanvas.
"Padahal seni grafis punya daya tersendiri, terutama dalam demokratisasi seni dan penyampaian pesan," tulis Mega dalam pengantar pameran.
Dari sejarahnya, pada 1946 Baharoedin Mara Sultan dan Moctar Apin membuat karya cukil lino yang kemudian kadi buku untuk menyebarluaskan berita kemerdekaaan Indonesia.
Di Yogyakarta, sejak 1998 komunitas seni Taring Padi menggunakan teknik serupa untuk melawan rezim penguasa. Dengan demikian, Mega percaya seni grafis juga punya jiwa ketok.
Menurut Mega, Bambang Budjono menyebut seni grafis sebagai seni opsional mungkin karena perupa grafis 1950-an membuat karya itu pada waktu luang.
Di perkembangan seni kiwari, demokratisasi seni menawarkan posisi baru bagi seni grafis. Mega menyatakan, apakah seni grafis seni untuk seni atau seni ini menjadi bagian budaya massa, terutama dengan perkembangan sablon.
Sablon berupa metode cetak saring atau disebut silk screen-print yang ditemukan di Cina pada 1654. Metode ini berkembang di Jepang yang dimotori oleh Yuzenza Miyasaki dan Zikukeo Hirose.
Namun sablon dipatenkan di Inggris, kemudian dibawa oleh Belanda ke Indonesia. Schablon, demikian bahasa Belandanya, tapi lidah masyarakat Indonesia fasih menyebutnya sablon.
Berkat sablon, seni grafis semakin mudah dan meluas. Sablon pun dekat dengan industri pakaian. "Seni grafis melalui sablon pun lebih diminati fungsinya ketimbang sisi estetiknya," kata Mega.
Semangat inilah yang agaknya menginspirasi seniman muda menggelar pameran teknik sablon manual. Selain Mahisa Gigat, ada Andreas Bagus Wijaya, Agapitus Ronaldo, Bangkit Kusuma, Damar Wijaya, Djafar, Januar Azmi, dan Putu Bayu Andika.
Pameran cetak saring perdana mengambil judul Gesut Gesit. Dalam bahasa Jawa, secara harafiah, gesut berarti teknik meratakan dengan cepat dan bertekanan. Adapun gesit berarti lincah dan mampu bergerak cepat.
Dengan tajuk itu, para seniman muda ini lincah menelusuri kembali makna teknik sablon. "Bukan kritik yang coba dilayangkan, melainkan upaya menelusuri kembali sablon sebagai seni murni yang kini justru lebih banyak bersinggungan dengan dunia industri," kata Mega.