Jakarta, Gatra.com - Ketimpangan ekspor dan impor membuat neraca perdagangan Indonesia defisit parah sepanjang sejarah. Berdasarkan catatan dari Badan Pusat Statistik (BPS), capaian neraca perdagangan mencapai US$2,5 miliar pada April 2019.
Kepala BPS, Suharyanto, menjelaskan, tingginya impor menjadi penyebab defisitnya neraca perdagangan. Suharyanto menyebut, penyumbang angka tertinggi pada impor tahun ini berasal dari sektor migas.
"Kita bisa lihat (secara month to month) baik kenaikan impor migas 46,99% dan nonmigas 7,82%," jelas Suharyanto di Gedung BPS, Jakarta, Rabu (15/5).
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menanggapi temuan BPS, bahwa impor atau volume permintaan sektor tersebut memang tak bisa turun. Kondisi itu semakin diperparah tatkala produksi minyak dan gas menurun.
"Dengan pertumbuhan di atas 5%, enggak mungkin permintaan energi itu turun, pasti meningkat. Sementara dari sisi produksi kalau kita lihat, minyak dan gas, produksinya cukup stagnan, bahkan kemarin kita cukup berjuang terhadap minyak. Liftingnya tidak sesuai dengan asumsi yang di APBN, sementara permintaan terus meningkat," papar Sri Mulyani di Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteng, Jakarta Pusat, Rabu.
Selain tingginya permintaan yang tak dapat ditekan, Sri Mulyani menyoroti volume impor pada kuartal pertama, Januari-Maret 2019. Impor tersebut, lanjutnya, baru direalisir pada April.
"Jadi mungkin mereka melakukan kalkulasi, nanti sesudah lebaran akan ada libur yang panjang lagi, sehingga semua ditumpukkan di bulan April. Jadi Januari-Maret yang slow down, sekarang distok tinggi untuk antisipasi. Saya akan lihat lagi komposisinya," kata Sri Mulyani.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menyinggung program biodiesel 20% (B20), campuran bahan bakar minyak (BBM) jenis solar yang diajukan untuk menekan impor migas. Ia mengatakan, Pertamina saat ini sudah mulai mengenalkan ke publik, meski hasilnya belum terlihat secara signifikan.
"B20 sudah dikenalkan, kemarin Pertamina menyampaikan juga sudah melakukan. Nanti kita akan lihat (hasilnya), (karena) impor dari Pertamina masih cukup besar," jelas Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga menegaskan masih harus berkoordinasi dengan beberapa pihak, mengingat pengambilan keputusan sangat berdampak pada neraca perdagangan. "Saya masih menunggu dari Menteri ESDM, Perekonomian, dari sisi (impor) itu. Tapi kalau trade account kita mengalami defisit dalam situasi sekarang, ini akan menimbulkan risiko yang lebih tinggi bagi ekonomi kita," terang Sri Mulyani.