Home Teknologi Perang Teknologi Ancam Ekonomi Indonesia

Perang Teknologi Ancam Ekonomi Indonesia

 

Kasus Huawei jadi pelumas yang makin mengencangkan perang dagang Amerika Serikat-Cina. Cipratannya menyasar Indonesia. Ditunggu sikap tangkas pemerintah.

GATRAreview.com - Meng Wangzhou, petinggi eksekutif raksasa komunikasi dari Cina, Huawei, mulai melakukan aksi pembalasan. Meng dikabarkan akan melawan ekstradisi dari Amerika Serikat (AS) saat ditangkap di Kanada atas surat perintah AS. Penangkapan yang terjadi bebera bulan lalu itu memicu pertikaian diplomatik. Meng yang menghadapi dakwaan terkait pelanggaran sanksi Iran, muncul di Pengadilan Vancouver untuk mengatur jadwal sidang ekstradisi yang akan datang. Juru bicara Meng, Benjamin Howes menuduh bahwa "faktor-faktor politik" berada di belakang penangkapan ini dan hak-hak Meng. "Kasus kriminal terhadap Miss Meng didasarkan pada tuduhan yang tidak benar," kata juru bicara Meng, Benjamin Howes dikutip dari AFP, Kamis (9/5). 

Sementara itu, jaksa penuntut mengindikasikan bahwa mereka ingin mempercepat kasus ini. Tawar-menawar atas pengungkapan bukti dengan pembelaan setebal 1.742 halaman dokumen yang dirilis sejauh ini. Hubungan antara Ottawa dan Beijing tengah mengalami krisis akibat penangkapan Meng, kepala keuangan raksasa telekomunikasi China Huawei dan kemungkinan pewaris perusahaan ayahnya. Setelah China menahan mantan diplomat Kanada Michael Kovrig dan pengusaha Michael Spavor dalam apa yang pengamat lihat sebagai pembalasan. China mencurigai Kovrig memata-matai dan mencuri rahasia negara dan menuduh bahwa Spavor telah memberi informasi intelijen.

 

Dua warga Kanada lainnya yang dihukum di Beijing karena perdagangan narkoba dijatuhi hukuman mati serta baru-baru ini memblokir pengiriman kanola dan babi Kanada senilai miliaran dolar. Kanada menuduh Beijing secara sewenang-wenang menahan Kovrig dan Spavor, dan menyebut hukuman mati bagi warga Kanada, Fen Wei dan Robert Schellenberg kejam dan tidak berperikemanusiaan.

Mereka juga mengumpulkan dukungan dari negara lain, termasuk Inggris, Prancis, Jerman, dan AS, serta Uni Eropa, NATO dan G7, dalam perseteruan diplomatiknya dengan Cina.

* * *

Asian Games Jakarta-Palembang 2018 rupanya jadi ajang PT Huawei Tech Investment (Huawei Indonesia), anak usaha Huawei Technologies, untuk memamerkan teknologi 5G. Huawei mengklaim siap menerapkan jaringan 5G di Indonesia. Ambisi itu cukup realistis, mengingat Huawei menguasai sekitar 50% dari seluruh teknologi seluler di Indonesia.

Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, jika Huawei ingin menggarap teknologi 5G di Indonesia, perusahaan asal Cina itu harus menunggu kebijakan teknis rampung. Di sisi lain, Huawei harus mengikuti tahapan yang terkait dengan standardisasi teknologi, alokasi frekuensi, dan business model dengan operator. “Sampai saat ini, pemerintah belum memutuskan pihak mana yang memperoleh izin untuk mendirikan infrastruktur 5G di Indonesia,” katanya kepada GATRA.

Untuk pasar telepon seluler (ponsel) nasional, kinerja Huawei juga tidak buruk-buruk amat. Berdasarkan data Counterpoint Research, lembaga riset asal Taiwan, kue pasar ponsel Huawei memang masih di bawah Samsung, Xiaomi, Oppo, dan Vivo pada kuartal II 2018. Tetapi Huawei optimis akan segera menjadi tiga besar di pasar ponsel Indonesia.

Keyakinan itu bukan isapan jempol belaka. Masih menurut data Counterpoint Research kuartal III 2018, ponsel Huawei terlaris kedua di dunia menyalip Apple. Huawei menguasai 14% pasar ponsel dunia setelah Samsung sebesar 19%. Di Asia, Huawei berada di urutan kedua terlaris setelah ponsel Oppo. Huawei mampu menggarap 15% ceruk ponsel Asia, menempel ketat Oppo sebesar 16%.

Menurut Rudiantara, Huawei telah menjadi dominant player di Indonesia dari sisi infrastruktur dan teknologi ponsel. Akibatnya, Huawei merupakan salah satu market leader teknologi ponsel di Indonesia. “Kebanyakan selulernya mereka, teknologinya ke sistem radio. Tapi bukan handphone-nya, ya. Sistem saja, infrastrukturnya saja,” ia mengungkapkan.

Geliat bisnis Huawei ini mendapat hambatan dari Amerika Serikat dan negara sekutunya, seperti Australia, Selandia Baru dan Jepang. Sejak Agustus, satu per satu otoritas masing-masing negara melarang penggunaan teknologi 5G dan ponsel Huawei di negara mereka. Penyebabnya, karena produk Huawei dituding telah memata-matai penggunanya dan mengancam keamanan nasional. Inggris dan Jerman diprediksi akan mengikuti kebijakan Amerika Serikat.

Rudiantara mengatakan, pemerintah tidak akan mengikuti jejak Amerika Serikat untuk melarang produk Huawei di Indonesia. Soal adanya ancaman keamanan nasional, katanya, merupakan permasalahan Huawei dan negara-negara tadi. “Jadi tidak ada sangkut pautnya dengan Indonesia. Terkait keamanan kita lakukan terus standarisasi dan menjadi fokus utama yang terus dilakukan,” katanya.

***

Meng Wanzhou, saat menghadiri VTB Capital Investment Forum "Russia Calling!"
di Moscow, Russia (REUTERS/Alexander Bibik)​​​

Selain pelarangan produknya masuk ke beberapa negara, Huawei Global kembali menghadapi hantaman. Kejaksaan Amerika Serikat menduga Kepala keuangan Huawei, Meng Wanzhou, melakukan kegiatan perbankan dengan perusahaan Iran, padahal Amerika Serikat telah menjatuhkan embargo ekonomi kepada Iran.

Pihak Huawei Indonesia enggan menanggapi persoalan perusahaan induknya. Public Relations Manager Huawei Indonesia, Panji Pratama, hanya menyebutkan kasus Huawei berskala global dan tidak akan memengaruhi bisnis Huawei Indonesia. “Kalau di sini tidak ada apa-apa. Jadi tetap seperti biasanya,” ujarnya ketika ditemui wartawan GATRA Annisa Setya Hutami di Kantor Huawei Indonesia.

Salah satu mitra Huawei Indonesia, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), juga berpandangan sama. Menurutnya, pelarangan produk dan kasus hukum yang menimpa perusahaan induk Huawei Indonesia tidak akan memengaruhi kerja sama keduanya. Menurut GM External Communications Telkomsel, Deni Abidin, tidak ada yang perlu dikhawatirkan atas kasus hukum yang menimpa petinggi Huawei.

Menurutnya, Telkomsel selalu bekerja sama dengan perusahaan mana pun untuk meningkatkan layanan kepada pelanggan. “Hingga saat ini layanan kami kepada pelanggan tetap berjalan secara normal baik untuk layanan komunikasi maupun ketersediaan jaringan,” katanya kepada Aulia Putri Pandamsari dari GATRA pada Selasa, 11 Desember lalu.

Deni enggan menjelaskan rincian proyek kolaborasi Telkomsel dengan Huawei. Menurut Deni, Telkomsel selalu memastikan perangkatnya bekerja sesuai dengan seluruh standardisasi teknologi 3rd Generation Partnership Project (3GPP) yang ada. “Fokus Telkomsel adalah terus melakukan transformasi digital dan berinvestasi dalam mengimplementasikan roadmap teknologi mobile broadband terdepan untuk menghadirkan pengalaman digital terbaik bagi pelanggan,” ujarnya.

Berdasarkan pantauan GATRA, Huawei dan Telkomsel memiliki banyak kerja sama bisnis. Yang terakhir, pada November lalu. Telkomsel menandatangani nota kesepahaman dengan Huawei. MoU tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama teknis di bidang mobile broadband (MBB) untuk enterprise.

Telkomsel juga bekerja sama dengan Huawei dalam proyek volume-based offload untuk pengelolaan kuota. Nantinya, proyek ini akan menghasilkan fitur ponsel yang mampu mensimplifikasi jenis jaringan, mengurangi kompleksitas operasional dan biaya kepemilikan. “Huawei telah membantu strategi transformasi digital Telkomsel. Kami ingin terus bekerja sama dengan Huawei dalam mengembangkan bisnis secara berkelanjutan,” ujar Chief Information Officer (CIO) Telkomsel, Montgomery A. Hong.

***

Meskipun Huawei Indonesia adem ayem, tetapi tidak buat ekonomi makro nasional. Penangkapan Meng pada 1 Desember lalu sempat menyebabkan rupiah anjlok. Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution. Darmin menilai, pelemahan rupiah awal Desember dipicu oleh penangkapan putri pendiri telekomunikasi China Huawei, Meng Wanzhou. Menurutnya, pasar langsung reaktif merespons kejadian ini. “Ya memang dunia ini aneh sekali, ada CFO-nya Huawei ditangkap malah goyang dunia, ini aneh-aneh saja,” ujar Darmin. 

Menurut ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih, kasus Huawei hanya pelumas agar pertikaian Amerika Serikat dan Cina semakin kencang. Pasalnya, kata Lana, Amerika Serikat ogah mengakhiri gencatan senjatan. Karena khawatir dengan kemajuan teknologi Cina, yang semakin sulit dibendung. “Cina punya Google sendiri, punya aplikasi chatting sendiri, WeCHat. Punya HP sendiri,” katanya kepada GATRA.

Lana mengatakan, penangkapan Meng meningkatkan ketidakpastian ekonomi. Menurut Lana, inilah yang menyebabkan gonjang ganjing rupiah dua pekan lalu. Selain fluktuasi rupiah, Lana menjelaskan, meruncingnya konflik AS-Cina dan larangan produk Huawei akan berdampak pada perlambatan ekonomi Cina. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia semakin tertekan. “Khususnya ekspor komoditas kita ke Cina seperti batu bara,” katanya kepada GATRA.

Menurut Lana, perang dagang jilid Huawei ini juga akan menekan neraca impor. Pasalnya, produk-produk Cina semakin membanjiri pasar Indonesia. Jika tidak dibatasi, Tawaran harga murah produk impor Cina akan menarik masyarakat semakin konsumtif. Lana mengatakan, pemerintah harus mengantisipasi ancaman suplai produk Cina ke Indonesia. Caranya, Lana menambahkan, bukanlah dengan menaikan tarif impor. karena cara itu akan melanggar perjanjian ASEAN-Cina.

Melainkan pemerintah membuat kebijakan non-tariff barrier. Pemerintah bisa mengetatkan standar dan spesifikasi produk impor dari Cina. “Mungkin ada spesifikasi dari komponen, misalnya. Komponen timbal berapa persen, nanti bisa mengganggu kesehatan, lingkungan. Kita mesti pintar membuat kebijakan non-tariff barrier,” katanya. Selain kebijakan non-tariff barrier, kata Lana, pemerintah juga bisa mengundang perusahaan Cina untuk memproduksi produknya di indonensia. Menurut Lana, pabrik ini harus memproduksi dari hulu dan hilir agar tidak perlu mengimpor bahan baku. “Oke kamu manfaatkan pasar saya yang besar, tapi barang kamu harus diproduksi di sini. Bisa enggak dinegosiasikan seperti itu,” katanya.

Ekonom senior Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Tri Winarno, menilai penangkapan bos Huawei semakin memperkeruh hubungan Amerika Serikat dan Cina. Akibatnya, menimbulkan ketidakpastian ekonomi global. Menurut Tri, jika Amerika Serikat terus menerapkan tarif kepada CIna dan perang dagang terus berlanjut, maka inflasi Amerika Serikat akan melonjak di angka 2,9% sampai 3%.

Menurut Tri, kenaikan inflasi inilah yang mendorong kenaikan tingkat suku bunga The Federal Reserve. Kebijakan ini akan menarik investasi masuk ke AS. Pengaruhnya ke Indonesia, katanya, pasar Indonesia kalau tergerus dari Amerikat serikat. “Yang tadinya jadi kembali ke Indonesia, enggak jadi kembali,” katanya kepada GATRA.


Hendry Roris Sianturi dan M. Egi Fadliansyah