Jakarta, Gatra.com - Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho mengungkapkan, kerja sama ke depan dengan Tiongkok melalui Inisiatif Jalur Sutera atau Belt and Road Initiative (BRI) dari kacamata perdagangan dan industri, merupakan investasi China, utamanya dalam bentuk infrastruktur di jalur sutra.
Harapannya, lanjut Andry, agar produk yang dihasilkan oleh China dan program inisiasi industrialisasi China (Made In China 2025) dan 13th 5 year development program mereka dapat berjalan dengan baik.
"China melakukan apa yang disebut sebagai manifestasi reglobalisasi di tataran ekonomi," katanya ketika dihubungi Gatra.com, Selasa (14/5).
Oleh sebab itu, kata dia, ke depan China tidak perlu khawatir dalam distribusi barang yang mereka hasilkan karena infrastrukturnya sudah terkoneksi dari negaranya menuju Eropa dan Asia, bahkan hingga ke Afrika.
Selanjutnya, Andry mengatakan, kerja sama secara luas (comprehensive) Indonesia dengan China melalui BRI sebenarnya sudah muncul dari 2013, dan secara resmi dimulai pada 2015, ketika kedua pihak menandatangani joint statement pada tahun tersebut.
Komoditas utama yang diimpor oleh Indonesia dari China adalah peralatan elektronik, mesin, dan besi baja. Sementara yang ekspor oleh Indonesia adalah produk sawit dan batu bara.
Dalam joint statement tersebut, beberapa proyek disebut di antaranya pengembangan KEK Bitung dan beberapa KEK lainnya, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, pengoperasian tahap 1 PLTU 10.000 MW, hingga partisipasi dalam proyek lima tahun listrik 35.000 MW.
"China sendiri merupakan mitra dagang utama Indonesia, yang mana frekuensi dari perdagangan antara kedua negara ini tertinggi di antara mitra dagang lain, mencapai US$72,6 miliar di 2018," ungkapnya.