Jakarta, Gatra.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai kemampuan DPR menyelesaikan 5 RUU pada Masa Sidang (MS) III dan IV 2018-2019 dengan durasi hari kerja 45 hari dapat dikatakan tidak wajar dan bisa dibilang janggal. Sebab jika dibandingkan dengan MS I 2018-2019 dengan durasi 49 hari kerja, DPR hanya mampu sahkan 3 RUU kumulatif terbuka.
"Tetapi masa sidang kali ini meskipun pendek masa sidang 45 hari, ternyata menghasilkan sesuatu yang cukup mencengangkan kita, kerena dari dua masa sidang itu direncanakan 10 RUU yang akan diselesaikan. Ternyata mampu diselesaikan 2 RUU Prolegnas Prioritas yaitu RUU Kebidanan dan RUU tentang penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah," ujar Peneliti Senior Formappi, M. Djadijono di kantor Formappi, Jalan Matraman Raya, Jakarta, Senin (13/5/).
M. Djadijono menyampaikan, capaian yang mencengangkan itu terjadi pada masa kampanye pemilihan umum 2019. Menurutnya, sebanyak 94 anggota DPR yang mencalonkan diri kembali akan sibuk dengan masa kampanye.
"Tetapi kita katakan tidak wajar dalam tanda petik di sini, karena ternyata DPR itu dengan segala keterbatasan waktunya dan juga sambil berkampanye di daerah pemilihan mereka. Karena ada 94 anggota DPR yang mencalonkan, tentunya mereka juga sibuk berkampanye dan kampanye ini panjang sekali sejak September (2018) sampai dengan 13 April (2019)," katanya.
Dia juga membandingkan dengan masa sidang pertama tahun 2018-2019. Pada masa sidang pertama, durasi 49 hari kerja DPR tidak mengesahkan RUU Prolegnas Prioritas hanya 3 RUU kumulatif terbuka. Sehingga menurut Djadijono kinerja DPR pada masa sidang itu adalah sebuah prestasi yang tidak wajar.
"Sedangkan pada masa sidang III dan IV ini menghasilkan 2 RUU di samping ada RUU lain yang sifatnya komulatif terbuka yaitu kita katakan sebagai prestasi yang tidak wajar dalam tanda petik, karena waktunya pendek dan mampu menghasilkan RUU lumayan, dua," ujarnya.
Kinerja DPR patut untuk diapresiasi, imbuh Djadijono, namun tidak tepat apabila merujuk pada durasi sidang. Ia menambahkan selama dua masa sidang itu sebanyak 36 RUU diperpanjang pembahasannya.
"Tentu ini perlu kita apresiasi, tetapi apresisi itu menjadi kurang relevan kalau kita melihat. Ternyata selama dua masa sidang ini ada 36 RUU yang dimintakan peranjangan pembahasannya. Yang kita catat RUU itu dari tiga pihak RUU usulan DPR, Pemerintah dan usulan DPD," katanya.
Djadijono juga menyinggung pidato pembukaan Ketua DPR Bambang Soesatyo yang menegaskan akan mengambil tindakan apabila pembahasan RUU berlangsung alot. Namun langkah yang diambil oleh DPR itu dinilai memperpanjang waktu pembahasan RUU.
"Padahal kata ketua DPR dalam pidato pembukaan masa sidang itu menekankan bahwa jika ada halangan di dalam pembahasan RUU baik itu dari anggota, fraksi maupun pemerintah, DPR akan mengambil langkah sendiri," katanya.
"Nah, rupanya langkah sendiri yang diambil oleh ketua DPR bersama para anggotanya itu adalah memperpanjang proses pembahasan RUU yang meskipun sudah ada sejak tahun 2015 sampai dengan hari ini banyak sekali yang belum diselesaikan," ungkapnya.