Jakarta, Gatra.com - Direktur Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini terjebak dalam demokrasi kultus, yaitu proses demokrasi dimana masyarakat terfokus pada tokoh tertentu yang didukungnya serta menilai tokoh yang berseberangan adalah sebuah ancaman.
Yunarto memberikan contoh demokrasi kultus yang terjadi seperti pada kontestasi pemilihan presiden 2019 terdapat calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo dan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto.
“Dua sosok itu kini menjadikan masyarakat terbagi dua, ada yang mengagumi sosok yang sederhana dan sosok militer. Ketika melihat sosok yang berseberangan maka langsung dianggap tidak sejalan dan terkesan dihindari,” ujarnya di sela-sela dialog publik rangkaian peringatan 21 Mei 1998 di Graha Pena 98, Kemang Utara, Jakarta Selatan pada Senin (13/5).
Menurutnya fenomena tersebut dimulai sejak periode Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terjadi pada tahun 2012, dimana kemenangan Jokowi yang tidak memiliki kekuatan apapun secara politik sebelumnya, lalu membuat kejutan saat mengalahkan Fauzi Bowo.
“Ada yang membangun birokrasi dari nol dan kemudian mengalahkan orang yang bernama Foke, dan pergesaran nilai dimulai. Dan pergesaran itu membuat kita terjebak kedalam demokrasi kultus,” imbuhnya.
Namun menurutnya hal itu tidak sejalan dengan nilai-nilai reformasi. Saling tuding dan mengkultuskan suatu tokoh dapat menjadikan masyarakat terpecah belah. Dia menegaskan bahwa urusan hari ini bukan lagi soal Jokowi dan Prabowo, namun soal bagaimana menjalankan demokrasi yang sudah diupayakayan sedemikian rupa setelah jatuhnya rezim orde baru.
“Bicara reformasi tak lagi membicarakan bukan mendukung siapa atau bukan melawan siapa. Tapi, membawa nilai-nilai yang dibawa dalam agenda reformasi. Sudahi kultus dan kita bergerak ke demokrasi yang lebih bernilai,” tandasnya.