Sleman, Gatra.com - Sembari menunggu berbuka puasa, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam komunitas National Welfare Institute menggelar bedah buku ‘Astagfirullah: Islam Jangan Dijual!’ di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Senin (13/5) sore.
Eko Prasetyo, sang penulis, diundang untuk mengulas lagi buku yang ditulisnya pada 2004 itu. Ramadan menjadi momentum yang tepat untuk melihat kehidupan beragama di Indonesia, terutama seputar komersialisasi agama Islam seperti yang dibahas di buku ini.
Dalam buku ini, Eko mengupas tiga sosok ustadz, yakni Aa Gym, Arifin Ilham, dan Yusuf Mansyur, sebagai panutan tren gaya hidup umat dan perwujudan komersialisasi Islam.
Munculnya ketiga sosok itu tak lepas dari faktor yang mempengaruhi perubahan dakwah Indonesia yakni keruntuhan Orde Baru dan liberalisasi media. Eko berpendapat, kedua faktor ini menempatkan pendakwah sebagai ikon dan brand. “Agama pun seakan-akan dijadikan komoditas,” ujar pegiat di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia ini.
Dalam pengamatan Eko, ada kecemasan yang melanda Muslim di Indonesia, khususnya di kalangan kelas menengah. Umat Islam terjangkiti perasaan inferior dan merasa tertinggal dari peradaban lain, sehingga membayangkan kembali kejayaan masa lampau.
Salah satu peserta diskusi, Jorgi Abiansyah, mengamini pendapat Eko. Ia mengakui fenomena itu terjadi pada keluarganya sendiri, sebagai masyarakat kelas menengah Islam.
Jorgi pun mempertanyakan kemungkinan Islam mengajarkan kesederhanaan. “Sejarah Islam cenderung dilihat sebagai sesuatu yang kaku,” tukas pendiri komunitas Social Movement Institute SMI ini.
Hal ini membuat umat Islam lepas dari kenyataan yang berlaku sekarang. Padahal, menurut Eko, pada masa lalu sekalipun sosok-sosok dalam sejarah Islam yang kita kenal tidak luput dari kekurangan. “Mereka hanya manusia biasa, tapi justru itu yang membangun Islam yang kita kenal sekarang,” ujar Eko.
Sayangnya, dakwah yang berkembang dan digemari masyarakat justru mengarahkan diri untuk kembali ke masa lampau. “Lewat jalur itu kapitalisme masuk karena dapat menjual kepastian,” kata Eko.
Agama, kata Eko, dipandang sebagai pengalaman personal. Ritual keagamaan juga lebih berorientasi sebagai investasi, sehingga menyulitkan umat Islam yang miskin.
Eko berpendapat, persoalan ini dapat dientaskan secara intensif melalui pengetahuan. Sejarah Islam harus dilihat kembali dengan menghubungkannya dengan persoalan kekinian. Umat Islam dituntut berorientasi ke masa depan. “Kita mengembalikan semangat kemajuan Islam dengan lebih percaya diri,” ujar Eko.
Reporter: Abilawa Ihsan