Magelang, Gatra.com – Di barat gerbang Kerkhoof. Diapit puluhan toko dan kedai makan, papan nama kompleks permakaman “Pa Van Der Steur” sungguh luput dari perhatian.
Jalan masuk menuju permakaman hanya berupa lorong sempit yang juga dipakai kios pedagang pisang. Pedagang ini sekaligus pemegang kunci yang membukakan pintu menuju makam jika ada tamu yang berkunjung.
“Pada masanya, Johannes van der Steur memiliki kiprah kemanusiaan yang besar di Magelang. Beliau pendiri Yayasan Oranje Nassau yang merawat sekitar 7 ribu anak yatim piatu,” kata Bagus Priyana, Ketua Komunitas Kota Toea Magelang, Minggu (12/5).
Oranje Nassau semula merawat anak-anak serdadu Belanda dan Eropa di Magelang yang orang tuanya tewas selama perang. Dalam perjalanannya banyak juga anak-anak serdadu KNIL berkebangsaan Indonesia dan orang pribumi yang diasuh yayasan ini.
Tahun 1892 dalam tugas misionaris, Johanes van der Steur tiba di daerah koloni Hindia Belanda di Magelang. Saat itu, selain warga pribumi, Magelang ditempati 5 batalyon serdadu yang tinggal di barak-barak berkondisi memprihatinkan.
Memulai kerja misionarisnya, pendeta berusia 29 tahun ini kemudian membangun rumah bambu sebagai pusat aktivitas pelayanan jemaat.
Jalan hidup Johann van der Steur berubah pada tahun 1893. Serdadu mabuk datang kepadanya membawa kabar, adanya tentara berpangkat sersan yang tewas meninggalkan istri pribumi dengan 4 orang anak.
Serdadu mabuk tadi mempertanyakan ketaatan agama sang pendeta jika mengabaikan mereka. “Tenangkan dirimu dan bawa aku ke sana,” kata Johannes van der Steur menjawab naluri kemanusiaannya.
Keesokannya, istri dan anak-anak sersan yang tewas itu dibawa ke rumah bambu. Kabar menyebar cepat. Dalam waktu dua bulan, jumlah anak-anak telantar yang diasuh Johannes van der Staur bertambah menjadi 14 orang. Hingga 1903, jumlah anak asuh mencapai 350 anak.
Pada saat itu Johann mengambil cuti karena sakit. Ia berobat ke Belanda. Memanfaatkan masa cutinya, Johannes mengajak sebanyak mungkin orang di negerinya untuk memberikan perhatian kepada nasib anak-anak serdadu di Hindia Belanda.
Upaya Johannes mendapat perhatian Ratu Emma, ibu Ratu Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange Nassau yang saat itu baru berusia 10 tahun. Kembali ke Hindia Belanda, Johannes van der Steur membawa uang sumbangan dari Ratu Emma dan rakyatnya sebesar 20 ribu gulden.
Uang itu dipakai membeli bekas barak polisi untuk rumah tinggal para tentara. Dia juga menebus pekarangan luas yang kemudian menjadi cikal bakal kompleks panti asuhan Yayasan Orange Nassau.
“Sebelum asetnya diambil pemerintah, kompleks panti asuhan Johannes van der Steur seperti miniatur kota hanya minus pasar. Dari Gereja Bethel di Jalan Diponegoro, ke barat kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Magelang, sampai SD Negeri 3,” ujar Bagus Priyana.
Tanggal 15 Februari 1944, pada masa penjajahan Jepang, Johannes van der Steur masuk kamp interniran. Kesehatan Johann memburuk selama masa tahanan. Ia sempat dirawat di Semarang, sebelum meninggal di Magelang di tengah-tengah para anak asuhnya.
“Saat pemakanan, orang-orang memadati jalan antara rumahnya di Jalan Diponegoro sampai Kerkhoof sini. Mereka mengenang kiprah Johannses van der Steur sebagai pejuang kemanusiaan.”
Ketua Komunitas Kota Toea Magelang, Bagus Priyana menyayangkan minimnya perhatian pemerintah dalam memelihara kompleks pemakaman Johannes van der Steur. Akses jalan masuk yang minim membuat makam ini seolah dilupakan.
“Harry van Lonkhuizen Ketua Yayasan Johannes van der Steur dari Belanda meminta kami memperbaiki kondisi makam. Renovasi ringan seperti membersihkan rumput dan mengecat ulang karena mereka melihat kondisinya begini,” kata Bagus.
Di kompleks makam Johannes van der Steur terdapat makam istrinya, Ana Maria Zwager, dan belasan anak asuhnya. Di antaranya tertulis Albert Rondonuwu, Dirk Sapuletu, dan Antoni Robert Paliama.
Beberapa makam tanpa identitas karena marmer tempat pahatan nama hilang. Patung-patung malaikat yang biasa menghiasi makam orang Eropa juga raib dicuri.
“Kita seharusnya menghargai kiprah Johannes van der Steur dari sudut pandang perjuangan kemanusiaan. Tujuh ribu anak asuh itu bukan jumlah yang sedikit. Jangan hanya dilihat dia sebagai orang Belanda,” ujar Bagus Priyana.