Sleman, Gatra.com – Tingginya tingkat kompetisi Pemilihan Umum 2019 berdampak secara psikologis pada peserta dan penyelenggaranya. Kandidat yang gagal merasa amat kecewa dan mencari keseimbangan diri. Petugas pemilu pun tertekan hingga tak sedikit yang meninggal dan sakit.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Profesor Faturochman menguraikan kondisi petugas dan peserta pemilu tersebut, beserta upaya meredam dan menghindarinya untuk pemilu berikutnya, saat ditemui Gatra.com di kampus UGM, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (9/5).
Menurut dia, para kandidat dari calon legislatif berbagai tingkat, calon senator di Dewan Perwakilan Daerah, hingga calon presiden, yang tak terpilih wajar bila kecewa. Mereka pun mencari pembenaran atau alasan atas kegagalan mereka.
“Orang kecewa itu terkait dengan harapan. Kalau harapannya menang, tapi tidak menang, ya kecewa. Makin tinggi harapan kalau tidak terpenuhi ya makin kecewa. Secara psikologis, orang yang mengalami kekecewaan itu dissonance (kehilangan keseimbangan),” tutur doktor psikologi dari Universitas Flinders, Australia, ini.
Kondisi itu membuat diri seorang calon merasa tidak nyaman, tidak enak, dan tak seimbang. Alhasil, mereka mencari mekanisme untuk menyeimbangkan kondisi itu. Mulai mencari pembenaran dan alasan, bahkan marah pada pihak lain.
“Untuk menyeimbangkan kekecewaannya, maka dia mencari justifikasi, termasuk mencari alasan. Kenapa ya (gagal), mungkin ini, mungkin itu. Jadi menganalisis itu untuk menyeimbangkan diri. Bahwa itu menyakiti orang lain, mengata-katai orang lain, itu mekanisme sosial,” kata Fatur yang mengaar psikologi sosial dan psikologi populasi ini.
Saat ini yang mencolok di tengah publik, para pendukung mengklaim kemenangan capres jagoannya meski belum ada hasil final Komisi Pemilihan Umum. Kendati hitung cepat lembaga survei sejak awal mengunggulkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno lebih getol mengklaim kemenangannya.
Langkah tersebut diikuti para pendukung capres hingga menyeruak pertayaan, apakah langkah itu alamiah sebagai bagian dari respon psikologis atau bagian dari strategi politik. “Kalau orang awam, mungkin (kekecewaan dan mekanisme psikologis) itu tidak direkayasa,” ujar Fatur.
Atas kondisi itu, Fatur memberi contoh saat seorang pria melamar dara pujaannya. “Saat ditolak, bisa saja mengatakan itu gara-gara teman saya memprovokasi dia untuk tidak menerima saya. Di situlah politisnya. Dua orang sama-sama kecewa, satu orang sebetulnya bisa berhenti pada diri sendiri, (tapi saat) orang lain ingin menggerakkan maka terjadilah dua orang itu tergerakkan, dan begitu seterusnya,” ujarnya.
Fatur menggarisbawahi, secara psikologis, politik berakar pada kepentingan. “Aku kecewa kepentinganku enggak terpenuhi, maka bagaimana supaya bisa terpenuhi atau ada penghiburan mencari keseimbangan dalam diri. Itu semua masih coba-coba, termasuk mendelegitimasi pemilu. Ada need for power yang tinggi. Ini alamiah, tapi ada ukuran-ukurannya,” kata dia.
Untuk itu, Faturochman mengingatkan agar seorang kandidat pemilu mengukur diri dan memasang harapan tak terlalu tinggi supaya ketika gagal juga tak terlalu kecewa. Di samping itu, kandidat harus diingatkan bahwa pemilu bukan peperangan, melainkan kompetisi sesama anak bangsa.
“Kita bukan berperang, tapi bersaing dalam satu negeri. Apa pun yang terjadi, ini yang kita punya. Apa kita mau membakar rumah sendiri? Toh masih ada (pemilu) lagi. Harus diukur cost benefit-nya gerakan politik. Kalau cost-nya tinggi, ini rugi kita semua, termasuk orang awam dan yang tak ikut pemilut,”katanya.
Apalagi saat ini pemilu telah berdampak besar pada penyelenggaranya. Sedikitnya 469 petugas pemilu meninggal dan lainnya sakit. “Dalam kaidah kerja itu seharusya diperhatikan kesejahteraan kerja mereka,” kata dia.
Fatur melihat tekanan pada petugas pemilu amat besar. Hal ini tergambar sejak awal ketika petugas pengantar surat undangan pencoblosan tampak tak gembira. Saat coblosan pun, kata dia, tempat pemungutan suara yang kreatif dan lucu-lucu jauh berkurang daripada pemilu sebelumnya. Apalagi, petugas kemudian dituduh curang.
Untuk itu, pada pemilu berikutnya, perlu langkah-langkah pencegahan agar tekanan psikologis petugas pemilu tak terulang. Selain honor lebih baik bahkan diberi asuransi, juga perlu ada prosedur kerja standard hingga pelatihan yang membuat mereka bahagia dalam bertugas.
Saat ini, tim Faskultas Psikologi bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, juga Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM meneliti banyaknya petugas meninggal dan sakit untuk memperbaiki sistem penyelenggaraan pemilu selanjutnya.
“Mereka telah bertugas penuh dedikasi. Mereka butuh dukungan-dukungan termasuk bebas dari tekanan melakukan kecurangan. Ke depan, saat pesta demokrasi, pekerjanya juga harus berpesta. Bekerja dalam pemilu harus menyenangkan,” kata Fatur.