Semarang, Gatra.com - Warga Tambakrejo yang tempat tinggalnya digusur tetap bertahan tinggal di puing-puing bangunan. Mereka mendirikan tenda-tenda seadanya. Penggusuran 97 bangunan di Kalimati itu sebagai tindak lanjut normalisasi Banjir Kanal Timur.
Perkampungan yang dihuni sekitar 350 jiwa itu, kini lenyap. Sebanyak 97 rumah rata dengan tanah. Warga mendirikan tenda sebagai tempat tinggal di bawah jembatan dan di atas puing-puing bangunan. Sarana dan prasarana lain seperti kamar mandi dan dapur umum yang mereka buat pun tak memadai. Semua itu dibuat seadanya,
Anak-anak tidur beralaskan tikar hasil donasi. Jumlah selimut yang minim menjadikan mereka berebut satu dengan yang lain. Akhirnya beberapa di antara mereka yang tidur tanpa selimut di ruang terbuka. Padahal, pada Kamis (9/5) malam itu hujan deras. Warga Tambakrejo bersikukuh tinggal di lokasi tak layak tersebut karena memang tidak ada pilihan lain.
Baca juga: Normalisasi Sungai Banjir Kanal Timur, 97 Hunian Liar Dirubuhkan
Warga yang kebanyakan nelayan terpaksa berhenti melaut lantara kehilangan tempat untuk bernaung. Sampai sejauh ini, mereka hanya menggantungkan penghidupan dari kepedulian masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, warga berharap Hendar Prihadi selaku Wali Kota Semarang mau bermediasi langsung dan melihat kondisi mereka di lokasi.
"Semua barang yang harusnya bisa kami jual buat jaga-jaga untuk makan, ludes enggak ada sisa. Penggusuran pagi kemarin sangat cepat sehingga kami tidak sempat menyelamatkan barang-barang penting," ujar Marsono (42) kepada Gatra.com.
Marsono dan seluruh warga Tambakrejo menyayangkan sikap Walikota yang terkesan tutup mata dengan penggusuran mendadak lewat Satpol PP. Padahal, warga belum sepenuhnya siap untuk pindah. Mereka pun menganggap Pemkot bertindak semena-mena dan menyalahi perjanjian tertulis, .
"Kami semua yang ada di Tambakrejo ini nelayan. Jadi tidak bisa seenaknya dipindah ke Rusunawa Kudu yang jaraknya jauh dari laut. Kalau kami pindah ke sana, otomatis ya mata pencaharian kami hilang. Apalagi ini enggak ada upaya komunikasi dulu, atau apa. Asal main gusur saja," kata Marsono.
Selain masalah mata pencaharian, penggusuran terhadap warga Tambakrejo juga masih menyisakan persoalan upaya ganti rugi dan butuh tempat relokasi yang memadai. Ketua RT 05 RW 16, Rohmadi, menyatakan bahwa belum ada komunikasi baik dari pihak Pemkot maupun Keluharan dan Kecamatan tentang penyediaan tanah kaveling sebagai upaya ganti rugi.
"Kemarin itu, sebelum penggusuran ada beberapa orang dengan seragam dinas ngukur tanah per petak 3x3 meter sebanyak 30 blok di bawah flyover, tapi kami pikir apa ya tempat tinggal kami buat pindah nanti setelah adanya pembangunan nanti cuman diberi ukuran segini?" ucapnya.
Sama seperti warga-warga yang lain, Rohmadi juga berharap agar Wali Kota mau turun langsung secepatnya ke lokasi penggusuran dan berkomunikasi dengan warga menyelesaikan masalah proyek pembangunan Kampung Bahari Tambaklorok yang berdampak buruk terhadap nasib mereka sekarang.