Jakarta, Gatra.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi DKI Jakarta. Lembaga Antirasuah ini meminta penjelasan kepada Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum terkait sejumlah aspek dalam pengelolaan air minum tersebut.
“Terdapat resiko klausul perjanjian kerjasama yang tidak berpihak pada kepentingan Pemerintah Provinsi DKI dan masyarakat pada umumnya,” kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Jumat (10/5).
Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK hari ini meminta penjelasan mengenai rencana itu kepada Tim Tata Kelola. Sebab, kontrak antara Pemrov DKI dengan PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan Aetra akan berakhir pada 2023.
Lebih lanjut, Febri mengingatkan agar sejumlah persidangan mulai di tingkat pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung menjadi perhatian Pemprov DKI. Jika tidak, nanti akan beresiko terjadi penyimpangan. Berdasarkan informasi yang berkembang dalam proses peradilan, terdapat risiko kerugian terkait perjanjian kerja sama antara PAM Jaya, Aetra dan Palyja sebesar Rp1,2 triliun.
Dalam prosesnya, Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan kasasi terkait pengelolaan air minum Jakarta oleh pihak swasta lewat peninjauan kembali (PK). Sebelumnya, Majelis hakim dari tingkat PN Jakarta Pusat menyatakan pengelolaan air oleh swasta di DKI melanggar hukum.
“Meskipun MA telah memutus PK dalam perkara ini, namun sejumlah temuan substansial perlu tetap diperhatikan agar tidak merugikan kepentingan Pemprov DKI dan masyarakat secara luas,” tambahnya.
Untuk itu KPK berharap, Pemprov DKI akuntabel dan menerapkan prinsip-prinsip Integritas. Serta meletakkan kepentingan masyarakat sebagai alat ukur utama dalam mengambil kebijakan.
“Hal ini penting dilakukan agar meminimalisir risiko terjadinya korupsi di masa mendatang,” pungkas Febri.