Jakarta, Gatra.com – Seratusan pemuda kader Muhammadiyah meriung di kediaman Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, jalan Widya Chandra III, Jakarta Selatan, 09 Mei 2019. Hadir dalam acara buka puasa bersama Sunanto atau Cak Nanto, Ketua Pemuda Muhammadiyah. Usai berbuka puasa diteruskan dengan diskusi tentang politik kekinian, dan kiprah tokoh-tokoh Muhammadiyah.
Dalam uraiannya, Muhadjir Effendy menyinggung Ir. H. Djuanda sebagai tokoh hebat Indonesia, kader Muhammadiyah. Terutama keberaniannya saat ‘mengklaim’ secara sepihak wilayah laut Indonesia. Yang dimaksudkan yaitu deklarasi ini dicetuskan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda Kartawidjaja pada 13 Desember 1957. Deklarasi Djuanda itu menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia, menyatu menjadi satu kesatuan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Deklarasi Djuanda mendapat tantangan keras dari hampir seluruh dunia karena dianggap bertentangan dengan Hukum Internasional. Saat itu, kekuasaan laut suatu wilayah hanya diakui tiga mil yang diukur dari masing-masing pulau. Namun, Djuanda menyatakan dalam deklarasi itu ditentukan bahwa batas perairan wilayah Indonesia adalah 12 mil dari garis dasar pantai masing-masing pulau sampai titik terluar.
Setelah berjuang terus-menerus di dunia internasional, pada 21 Maret 1980, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sepanjang 200 mil, diukur dari garis pangkal wilayah laut Indonesia. ZEE adalah wilayah laut sejauh 200 mil dari pulau terluar saat air surut. Pada zona ini Indonesia memiliki hak untuk segala kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam permukaan laut, di dasar laut, dan di bawah laut serta mengadakan penelitian sumber daya hayati maupun sumber daya laut lainnya.
“Negara kepulauan seperti Jepang dan Filipina, dan lain-lain, wajib berterimakasih kepada Djuanda,” tegas Muhadjir. Dia juga mengingatkan bahwa Djuanda adalah kader Muhammadiyah. Atas perjuangan dan keberaniannya dalam hukum laut, maka Djuanda merupakan tokoh internasional. “Dia bukan hanya pahlawan nasional, namun internasional. Dan kader Muhammadiyah wajib memperjuangkan itu. Karena dia merupakan tokoh Muhammadiyah,” katanya.
Djuanda memang meniti karir dari sebagai guru pada SMA (Algemene Middbare School) dan Sekolah Guru (Kweekschool) yang dikelola Muhammadiyah di Jakarta. Setahun kemudian Djuanda bahkan menjadi Direktur SMA Muhammadiyah, saat itu dia baru berumur 23 tahun. “Padahal saat itu dia ditawari untuk menjadi dosen di ITB, namun dia memilih menjadi kepala sekolah,” kata Muhadjir.
Djuanda memang seorang pemimpin. Ia bersikap tenang, ramah, tidak mudah marah dan selalu seimbang jiwanya. Siswa-siswanya memandang Pak Djuanda sebagai seorang Direktur yang lemah-lembut, simpatik dan disegani. Direktur ini selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan para siswanya sehingga tidak kalah dari mutu sekolah SMA Pemerintah Belanda. Ir. Djuanda juga menerjuni politik dalam Budi Utomo.
R Haryadi