Home Ekonomi Perlu Pergub untuk Lindungi Hutan Sagu Papua dan Kearifan Lokal

Perlu Pergub untuk Lindungi Hutan Sagu Papua dan Kearifan Lokal

Jakarta, Gatra.com - Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA), Laksanto Utomo, mendorong gubernur Papua dan Papua Barat segera membuat peraturan gubernur (Pergub) tentang Rancangan Tata Ruang demi melindungi keberadaan hutan sagu di bumi cendrawasih.

Laksanto di Jakarta, Kamis (9/5), menyampaikan, hal tersebut juga disuarakan para warganet melalui petisi di laman change.org yang diinisiasi Charles Toto dan sudah ditandatangani hampir 50.000 orang hingga 6 Mei 2019.

Menurutnya, perlu ketegasan kepala daerah untuk menghentikan pembabatan hutan sagu di Merauke dan Jayapura. Regulasi tersebut diperluka agar sagu tetap lestari dan menjadi kearifan lokal serta menjaga kelestarian lingkungan.

Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sahid (Usahid) Jakarta ini mengungkapkan, Pergub ini sangat urgen karena sagu bukan hanya sekadar bahan makanan pokok bagi masyarakat asli Papua sejak nenek moyang mereka mengenal cocok tanam, tetapi menyangkut alam hingga kearifan lokal.

"Sagu mempunyai banyak manfaat dan kegunaan bagi masyarakat Papua serta kegunaan bagi keberlangsungan hidup masyarakat (sustainable development,)" ujarnya.

Pohon sagu mempunyai banyak manfaat mulai dari batang, daun, pelepah, serta ampasnya. Batang pohon sagu bisa digunakan untuk lantai dan dinding, daun untuk atap rumah, dan ampas sagu untuk pupuk.

Pohon sagu juga mencegah bencana misalnya banjir. Banjir bandang sempat melanda Papua yang membuat trauma warga karena merenggut hampir sekitar 150 jiwa, kehilangan harta benda, dan sejumlah warga terpaksa mengungsi.

"Pohon sagu mempunyai fungsi sangat melekat dengan kehidupan masyarakat Papua pada umumnya dan masyarakat Desa Yoboi pada khususnya," kata dia.

Menurut Laksanto, sesuai data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jayapura, Papua, hutan sagu di Yoboi sekitar 1.650 hektare (Ha) saat ini sedang digarap masyarakat sekitar kurang lebih 300 Ha.

Hutan sagu adalah daerah-daerah yang terdapat banyak tanaman sagu. Seperti hutan sagu di pinggiran Danau Sentani, Waibu, dan daerah lainnya. Hutan sagu sama juga sebutannya untuk Dusun Sagu.

Sebagai makanan pokok masyarakat Papua dan Maluku, lanjut Laksanto, sagu mengandung karbohidrat tetapi tidak memiliki kadar gula yang berbahaya bagi tubuh. Kandungan karbohidrat sagu mirip dengan beras merah, jagung, ubi jalar, dan gandum. Sagu memiliki banyak manfaat bagi kelancaran darah dan untuk gula darah.

Menurut data BPS Provinsi Papua tahun 2018, sagu menjadi tanaman perkebunan dengan luas lahan terbesar 35.351 ha sehingga tanaman ini juga menunjukkan hasil produksi tertinggi yaitu sebesar 28.340 ton.

Sedangkan data BPS Kabupaten Jayapura, pada tahun 2018, luas lahan sagu mencapai 4.402 ha dengan hasil sebanyak 7.483,41 ton. Distrik penghasil sagu terbesar adalah Ebungfau dan Sentani, masing-masing sebesar 1.700 ton dan 1.471,01 ton. Sementara distrik Waibu memberikan sumbangan sebesar 1.187,03 ton.

Bagi masyarakat yang tinggal di pinggiran Danau Sentani, tiada hari tanpa mengonsumsi papeda yang terbuat dari pati sagu. Namun bagi mereka, tanaman sagu lebih dari sekadar urusan perut, tapi juga soal identitas, pembagian wilayah kesukuan, upaya menjaga lingkungan, dan budaya matrimonial.

"Kearifan lokal turun temurun ini masih dipraktikkan hingga sekarang, meskipun sudah mulai tergerus zaman," ujar Laksanto.

Warga Yoboi menyebut lokasi tumbuh sagu ini sebagai ‘dusun’. Tiap-tiap suku memiliki dusun masing-masing yang dibagi secara adat. Yoboi mempunyai 5 suku dan 5 marga, yaitu Tokoro, Wally, Yom, Sokoy, dan Depondoye.

Sagu Tingkatkan Perekonomian

Potensi sagu di Indonesia, khususnya Papua dapat mendongkrak perekonomian, karena negeri ini merupakan potensi sagu terbesar di dunia. Hampir 5 juta hektare hutan sagu berada di Papua. Sayangnya, belum menjadi tuan rumah di negerinya.

Menurut Laksanto, sagu sebagai penopang ekonomi keluarga bukan isapan jempol, tak terkecuali bagi warga Yaboi. Om Bob yang mempunyai 4 putra mengungkapkan, bisa menyekolahkan anaknya sampai jenjang yang tinggi berkat hasil dari sagu.

Menurut Laksanto, untuk melestarikan sagu sesuai kearifan lokal memerlukan kemauan semua pihak, khususnya pemangku kepentingan, termasuk kepala daerah.

Salah satu yang bisa ditiru, yakni langkah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayapura yang menerbitkan Perda Nomor 8 Tahun 2016 tentang Kampung Adat yang mempunyai tujuan menguatkan peran adat dalam pembangunan dan pemerintah daerah, melindungi dan melestarikan adat istiadat yang diwariskan turun temurun.

Terbitnya Perda tersebut, lanjut Laksanto, masyarakat bisa berperan serta dalam pembangunan dan menjaga kelestarian alam sesuai kearifan lokal dalam memanfaatkan hutan sagu, termasuk menjaga tanah ulayat adat, juga tanah perseorangan yang terdapat hutan sagu tidak dilepas atau dijual kepada pihak lain yang mungkin mengubahnya.

Mempertahankan kearifan lokal termasuk bahan pokok, agar tidak terjadi ketergantungan kepada beras. Pasalnya, ini sempat terjadi di daerah Merauke yakni bencana kelaparan di tengah lahan sagu akibat warga tergantung pada beras miskin (raskin).

"Terjadinya bencana banjir di Sentani, Jayapura memakan banyak korban, karena banyak berubah fungsi hutan sagu menjadi perumahan dan jalan aspal," ujarnya.

Menurutnya, air dari Pegunungan Cyclop langsung ke Danau, penyerapan dari hutan sagu sangat berkurang mengakibatkan air danau meluap menjadikan banjir," katanya.

Karena itu, penanggulangan atas berkurangnya hutan sagu harus menjadi prioritas utama bagi gubernur Papua dan Papua Barat jangan menunggu akibat pembabatan hutan sagu membawa korban lebih banyak terutama kekuatan ekonomi masyarakat adat Papua.

1165