Jakarta, Gatra.com - Kementerian Pertanian (Kementan) dan kementerian terkait telah mengambil langkah strategis melalui Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN PRA) untuk mengantisipasi Resistensi Antimikroba (AMR) yang menjadi ancaman global bagi kesehatan masyarakat, hewan, dan lingkungan. Ini merupakan tidak lanjut dari Rencana Aksi Global.
Demikian disampaikan Ni Made Ria Isriyanthi, dari Direktorat Kesehatan Hewan mewakili Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan di Jakarta, Kamis (9/5), dalam Seminar Peningkatan Kesadaran tentang Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba untuk Dokter Hewan Technical Service.
Menurutnya, ancaman tersebut terjadi karena munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan tidak bertanggung jawab di berbagai sektor seperti kesehatan masyarakat, peternakan dan kesehatan hewan, pertanian serta perikanan.
Berdasarkan studi dari WHO tahun 2014, lanjut Ria, diperkirakan angka kematian akibat AMR dapat mencapai 10 juta jiwa pada tahun 2050 bila tidak ada pengendalian AMR. Untuk mencegah bertambahnya kerugian dan memperlambat laju AMR, diperlukan langkah-langkah strategis berbagai sektor kesehatan dan sektor terkait lainnya, antara lain RAN PRA.
Kementan juga telah melakukan kegiatan peningkatan kesadaran dan pemahaman terkait resistensi antimikroba sejak tahun 2016 melalui kegiatan Pekan Kesadaran Antibiotik sedunia, seminar bagi mahasiswa kedokteran hewan di 11 universitas di Indonesia, seminar bagi peternak unggas melalui sarasehan, Expo dan pameran (Indolivestock, ILDEX dan Sulivec) dengan melibatkan sektor kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan.
"Kegiatan peningkatan kesadaran dan pemahaman terkait AMR juga telah dilakukan untuk para stake holder secara bertahap dari tahun 2017 hingga sekarang," kata Ria.
Adapun seminar Peningkatan Kesadaran tentang Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba untuk Dokter Hewan Technical Service ini diselenggarakan Kementan bersama Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, Asosiasi Obat Hewan Indonesia, serta Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO).
Sementara itu, Tri Satya Putri Naipospos dari Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) menyampaikan bahwa pengendalian AMR harus menggunakan pendekatan one health yang bersifat multisektor dan melibatkan semua aktor dari peternakan ke konsumen, dan dari fasilitas kesehatan ke lingkungan.
Kemudian, lanjut dia, penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab harus dipahami oleh semua orang yang terlibat dalam sektor peternakan, termasuk dokter hewan yang bekerja di berbagai sektor seperti praktisi, perwakilan dari sektor swasta terutama perusahaan obat-obatan hewan dan pabrik pakan, Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), ataupun dari berbagai organisasi terkait dokter hewan yakni asosiasi profesi untuk dokter hewan (PB-PDHI) serta Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI).
"Ke depan mereka dapat menjadi agen perubahan dalam penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab di tingkat peternakan dan masyarakat veteriner untuk mengurangi risiko resistensi antimikroba di sektor peternakan dan kesehatan hewan," ujar Tri Satya.
Sementara itu, Hari Parathon dari Komite Pengendali Resistensi Antimikroba (KPRA), Kemenkes menegaskan pentingnya penggunaan antibiotik yang bijak. Hal ini dapat membantu mencegah dan mengurangi laju AMR sehingga di masa yang akan datang masyarakat masih dapat menggunakan antibiotik.
Pandangan senada juga disampaikan oleh Irawati Fari, Ketua Umum ASOHI dalam paparannya. Ia menekankan peran petugas lapang dalam memastikan pemberian obat yang tepat dan bijak.
"ASOHI selalu mendukung Pemerintah dalam implementasi berbagai peraturan, seperti peraturan terkait pelarangan penggunaan antibiotik untuk imbuhan pakan, juga petunjuk teknis untuk medicated feed," ungkap Irawati.
Mengakhiri pertemuan, Ria berharap bahwa tujuan pertemuan yakni meningkatkan kesadaran dokter hewan Technical Service/TS tentang penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab.
Kemudian, mempromosikan kesadaran, kepedulian, dan tanggung jawab profesi dokter hewan tentang penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab di sektor peternakan dan kesehatan hewan serta mendorong dokter hewan untuk menjadi agen perubahan pada penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab di tingkat peternakan dapat tercapai.