Jakarta, Gatra.com - Mantan Direktur Keuangan PT Pertamina, Frederick ST Siahaan mempertanyakan kebijakan komisaris PT Pertamina Persero ketika menandatangani kesepakatan transaksi sebesar US$ 31 juta pada 27 Mei 2009 yang lalu.
Ia menilai dewan komisari perusahaan minyak berpelat merah itu tidaklah konsiten.
Pada tanggal 27 itu, Frederick adalah orang yang menjadi delegasi Pertamina untuk menandatangani kesepakatan kontrak akuisisi. Kesepakatan itu berisikan bahwa anak perusahaan Pertamina, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi melalui pembelian saham sebesar 10% milik TOC Oil Company Ltd di blok Basker Manta Gummy, Australia.
Perjanjian itu kemudian menjadi polemik karena ada tudingan bahwa pengambilan keputusan investasi itu tanpa studi kelayakan (feasibility study) dan persetujuan dewan komisaris.
Frederick menilai ada yang janggal terjadi tepat sehari sebelum proses penandatanganan itu.
Menurutnya pada tanggal 26 Mei 2009 itu Dewan Komisaris Pertamina bersama Wakil Direktur Utama PT Pertamina melakukan rapat.
Ia pun mempertanyakan kenapa pada rapat itu tidak ada pembahasan pembatalan akuisisi. Namun usai kesepakatan, itu ditandatangani barulah berpolemik bahwa ada yang meminta agar dilakukan divestasi.
"Tanggal 26 Mei yang misterius ada rapat komisaris dengan Wadirut, tapi keputusannya rapatnya tentang BMG tidak untuk dibatalkan. Kalau saat itu putusan untuk membatalkan, komisaris cukup telpon saya, jangan tanda tangan, saya akan pulang," kata Frederick saat bersaksi dalam sidang lanjutan terdakwa, eks Dirut Pertamina, Karen Agustiawan, di PN Tipikor, Jakarta, Kamis (9/5).
Terpidana pada kasus yang sama ini juga mempertanyakan kenapa dirinya selaku salah satu anggota direksi tidak diikutkan sertakan dalam rapat itu.
Ia mengaku pada tanggal 26 itu baru berangkat ke Australia pada malam harinya. Selain itu yang juga aneh menurutnya, kenapa Karen selaku Dirut tidak diikut sertakan dalam rapat itu.
"Tambahan tanggal 26 itu saya masih di Jakarta, Saya berangkat itu tanggal 26 malam, tapi tidak diundang juga untuk rapat itu. Padahal semua komisaris kumpul tanggal 26 itu," katanya.
Terkait rapat pada tanggal 26 Mei 2009 itu, salah satu anggota Dewan Komisaris kala itu, Gita Wirjawan yang juga menjadi saksi dalam sidang ini mengaku tidak tahu.
Gita mengatakan tidak tahu kenapa Karen tidak hadir kala itu dan kenapa juga Frederick tidak diikutsertakan dalam rapat itu.
Menurut Gita, bukanlah kewajiban komisaris untuk menelpon Frederick agar tidak menandatangani kesepakatan tersebut.
"Bukan tempatnya Komisaris untuk melarang tanda tangan," kata Gita saat bersaksi.
Menurutnya wewenang dewan komisaris hanya bisa memberikan saran dan rekomendasi dan pengawasan.
Gita berpendapat bahwa hasil rapat dewan komisaris kala itu menyepakati bahwa bidding yang dilakukan hanya bentuk pembelajaran. Tujuannya bukanlah sampai kepada akuisisi.
"Berdasarkan saran Pak Humayun dan Umar Said yang melakukan pertemuan terpisah dengan Dirut, yang mana masukannya waktu itu bidding adalah itu hanya dilakukan sejauh proses pembelajaran tidak semestinya akuisisi. Itu pola pikir kita semua saat itu," imbuhnya.
Seperti diketahui anak perusahaan Pertamina, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi melalui pembelian saham sebesar 10% milik TOC Oil Company Ltd di blok Basker Manta Gummy, Australia.
Perjanjian tersebut disepakati pada tanggal 27 Mei 2009 dengan nilai transaksi sebesar US$31 juta. Pengambilan keputusan investasi diduga tanpa ada studi kelayakan (feasibility study) dan persetujuan dewan komisaris.
Dalam perkara ini Karen selaku Dirut Pertamina diduga mengabaikan prosedur investasi yang berlaku di PT Pertamina dan ketentuan atau pedoman investasi lainnya dalam Participating Interest (PI).
Karen pun didakwa merugikan negara sejumlah 31 juta dollar AS dan 26 juta dollar AS atau setara Rp568 miliar. Kesepakatan Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase-BMG Project terjadi pada 27 Mei 2009.