Jakarta, Gatra.com – Pesta demokrasi sudah dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. Hasil hitung cepat atau quick count sudah dirilis oleh berbagai lembaga survei terkait hasil pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2019.
Quick count merupakan metode penghitungan cepat yang pertama kali digunakan pada pemilu tahun 1986 di Fillipina. Tujuan dari quick count itu sendiri untuk mendeteksi adanya indikasi kecurangan pada pemilu saat itu. Sementara di Indonesia, quick count pertama kali dilaksanakan pada pemilu tahun 2004 silam.
“Quick count itu bertujuan untuk mendeteksi adanya kecurangan, bukan untuk membuktikan kecurangan,” kata Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif lembaga survey Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) pada acara talkshow “Quick Count di Mata Akademisi”, yang digelar di Aula D, UNIKA Atma Jaya Semanggi, Jakarta, Rabu (8/5)
Hasil yang diberikan oleh lembaga survei yang melakukan quick count dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan pasti memiliki selisih dengan hasil hitungan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, dengan metode ini, masyarakat dapat memantau dan mengetahui perolehan suara pada pelaksanaan pemilu, karena selisih yang ada tidak akan jauh berbeda dengan hasil penghitungan resmi.
Menurut Kepala Bagian Hukum Tata Negara (HTN) UNIKA Atma Jaya, Daniel Yusmic P. Poekh, dari perspektif konstitusi, quick count dianggap legal. Undang-undang nomori 7 tahun 2017 tentang Pemilu, menjelaskan tentang partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu. Adapun pasal yang mengatur tentang penyelenggaran hitung cepat beserta syarat dan ketentuannya diatur dalam Bab 2 bagian 2 paragraf 4, pada pasal 27-32.
Lembaga survei yang menyelenggarakan quick count bersifat tidak wajib, sehingga apabila dalam pelaksanaan pemilu selanjutnya tidak diadakan quick count, maka Pemilu masih dapat tetap berjalan.
“Tingkat akurasi dari quick count bisa dikatakan sangat akurat, dengan margin error yang berada dibawah 1%. Sehingga ketika KPU mengumumkan hasil penghitungan resmi, masyarakat dapat membandingkan dengan hasil quick count. Sejatinya quick count hanya sebagai media pembanding, bukan sebagai hasil resmi.” Djayadi Hanan menambahkan.
Menurut Djayadi Hanan, setiap orang bisa melakukan quick count versi mereka sendiri. Karena pada dasarnya quick count ini hanya memerlukan ilmu statistik dan mengorganisir data. Dia juga memberikan gambaran bagaimana cara melakukan quick count yaitu dengan metode sampel acak (random sampling) dari seluruh TPS yang sudah dipantau. Pada pemilu kali ini, lembaga SMRC mengambil sampel dari 6000 TPS di seluruh Indonesia.
“Semakin banyak jumlah sampel TPS yang kita ambil, maka hasil yang didapat akan semakin akurat dengan margin error yang semakin kecil. Dari 6000 TPS yang kami pantau, margin error yang kami dapat senilai 0,48%,” Djayadi menambahkan.
Mengenai biaya yang diperlukan dalam melakukan quick count, Djayadi mengkonfirmasi nominalnya variatif tergantung dengan jumlah sampel yang diambil. Untuk biaya pelaksanaan quick count pada pemilu kali ini, dia belum bisa menginfokan jumlah pastinya, sebagai gambaran dia menginfokan pengeluaran lembaga survey pada pemilu 2014 berkisar lebih dari Rp1 milliar.