Jakarta, Gatra.com – Kasus penularan akibat malaria di Indonesia belum terselesaikan. Meskipun, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menargetkan penyakit malaria di Indonesia habis pada 2020 mendatang.
Salah satu kasus malaria yang paling banyak ditemukan adalah malaria vivaks. Meskipun dianggap tidak terlalu berbahaya seperti malaria tropika, malaria vivaks dapat menyebabkan orang yang terinfeksi, bisa kekurangan darah.
“Malaria vivaks dianggap kurang parah, tetapi dalam jangka penjang akan menyebabkan kekurangan darah karena tersedot oleh kuman dari malaria. Kalau dilihat malaria vivaks lebih tinggi angkanya di Indonesia timur. Kita sebaiknya tidak menanggap sepele malaria jenis ini,” kata Peneliti Senior Bidang Malaria Lembaga Biologi Molekular Eijkman, Farah N. Coutrier, PhD di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (8/5).
Adapun, gejalanya antara lain sakit kepala, menggigil, demam, dan pucat. “Tetapi gejalanya itu kadang dianggap. Kalau orang sudah pernah kena malaria, waktu dia kambuh gejalanya seperti sakit flu biasa. Jadi tidak ada yang terlalu mencolok,” imbuhnya.
Farah juga menambahkan, sebaiknya, jika kita sudah pernah berpergian ke daerah atau kawasan penyakit endemik malaria, maka harus melakukan pengecekan kesehatan terkait penyakit malaria.
“Karena malaria itu berasal dari gigitan nyamuk, ketika kita tahu daerah yang kita datangi berpotensi malaria ya kita harus mengantisipasi untuk tidak berkontak dengan nyamuk," katanya.
"Jadi kalau kita pergi ke luar ya pakai obat anti nyamuk. Kalau kita tidur, sebaiknya pakai kelambu. Di rumah jika ada tempat-tempat terbuka, sebaiknya ditutup dengan kasa,” lanjut Farah.
Sampai saat ini, wilayah persebaran malaria tidak hanya berada di Indonesia Timur, tetapi juga di Indonesia Barat, seperti Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Lampung, Yogyakarta dekat Kulon Progo.
Penyebaran penyakit malaria tidak hanya dari warga setempat, tetapi juga berasal dari pelancong atau warga yang berpindah-pindah tempat.