Lombok Barat, Gatra.com - Angka kasus stunting (kekerdilan) di Kabupaten Lombok Barat (Lobar) tahun 2007 lalu tercatat cukup tinggi. Jumlah balita stunting di KLB mencapai 49,8 persen berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2007.
“Tentunya hal ini begitu mengagetkan. Dengan berbagai upaya terobosan dan kerja kita semua, angka stunting di Lobar di tahun 2016 turun menjadi sekitar 32 persen. Dan hasil bulan penimbangan pada Februari 2019 dengan seluruh balita kita lakukan entry dan kita ukur stunting di Lobar dengan angka yang real sekitar 25,2 persen,” kata Kepala Dinas Kesehatan Lobar, Rachman Sahnan Putra di Lombok Barat, Rabu (8/5).
Menurut mantan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lobar ini, beberapa inovasi yang telah dilakukan Dinas Kesehatan Lombok Barat diantaranya sensus terhadap seluruh balita di Lombok Barat, inovasi Gerakan Masyarakat Sadar Gizi (Gemadazi), Gerakan Masyarakat 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), dan upaya penguatan sistem melalui e-Puskesmas, e-Pustu, e-Poskesdes dan e-Posyandu.
Rahman juga menyebutkan, keberhasilan Lobar menurunkan angka kasus stunting mendapat apresiasi dari pemerintah pusat. Tahun 2017 lalu, Lombok Barat bersama tiga daerah lain di Indonesia ditunjuk sebagai daerah percontohan penanganan angka stunting, karena pemerintah daerah setempat dinilai memiliki komitmen yang kuat.
“Ini momentum mencanangkan intervensi penurunan stunting terintegrasi dan memperluas lokasi intervensi secara bertahap. Melalui penguatan komitmen dan koordinasi antar lintas sektor, melalui dana APBN, APBD, DD, dan sumber lainnya,” kata Rachman.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB Nurhandini Eka Dewi menyatakan, stunting tidak bisa dianggap sepele karena bisa salah satu indikator Indeks Kelayakan Hidup (IKH) manusia berikut pengaruhnya pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
“Pemerintah ingin mengingatkan masalah stunting ini merupakan masalah bersama yang perlu ada penyikapan bersama. Perlu peningkatan kapasitas petugas terkait penanggulangan stunting dan pemantauan tumbuh kembang anak melalui pola pengasuhan anak, seperti pemberian makan bayi, PMT BUMIL bayi dan balita suplementasi vitamin. Intervensi gizi sensitif berupa peningkatan akses air bersih dan lingkungan yang sehat bekerjasama dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya,” kata Eka.
Diketahui, stunting sendiri merupakan gangguan pertumbuhan kronis pada anak akibat kekurangan nutrisi dalam waktu lama. Sehingga anak yang terkena stunting umumnya bertubuh lebih pendek dibanding anak seusianya.
Stunting adalah gangguan yang sering ditemukan pada balita, khususnya usia 1-3 tahun. Dampak stunting yang bisa terlihat antara lain mengganggu pertumbuhan tinggi dan berat anak.
Stunting juga dapat mempengaruhi kecerdasan dan kemampuan belajar anak akibat kekurangan gizi, dan mudah terserang penyakit dan berisiko terkena berbagai penyakit saat dewasa seperti diabetes, jantung, kanker dan stroke. Bahkan stunting juga bisa berujung pada kematian usia dini.