Home Ekonomi Kisah Mbok Minah dan Ratusan Warga Darmakradenan Perjuangkan Hak atas Tanah

Kisah Mbok Minah dan Ratusan Warga Darmakradenan Perjuangkan Hak atas Tanah

Banyumas, Gatra.com – Kisah Mbok Minah berlanjut.  Sepuluh tahun silam, nenek asal Banyumas itu  divonis satu bulan kurungan dan tiga bulan hukuman percobaan gara-gara tiga butir kakao. Kini,  bersama ratusan warga Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, ia berjuang untuk mendapatkan  hak atas tanah leluhurnya,  yang dikuasai Yayasan Diponegoro,yayasan yang berafiliasi dengan TNI.

Mbok Minah  kini menggarap sekitar 80 ubin tanah garapan. Ia bersama 700-an warga di Darmakradenan  menggarap di tanah eks-Hak Guna Usaha PT RSA. Di luar itu, ia  tak lagi memiliki tanah, kecuali pekarangan rumahnya. “Harapannya ya, saya bisa ke kebun. Tanah persil dikembalikan ke rakyat. Saya bisa menggarap dengan tenang dan tenteram. Karena saya tidak punya tanah,” katanya kepada Gatra.com, Selasa (7/5).

Dia berharap,  pemerintah bisa memfasilitasi masyarakat. Pasannya, sebagian warga di Darkradenan adalah petani tanpa lahan garapan. “Kalau sekarang ditanami jagung, ketela dan kacang tanah. Kalau tidak digarap ya saya khawatir, saya bingung  mau makan apa?” ucap Mbok Minah.

Anak tertua Mbok Minah yang juga Bendahara Kelompok Tani Setan, Ampera Karsim, mengatakan bahwa masyarakat semakin intensif memperjuangkan tanah leluhurnya itu setelah HGU PT Rumpun Sari Antan (RSA) sebagai pengguna lahan telah habis 2018 lalu.

Total luas tanah tersebut  277-an hektare. Rinciannya, sebanyak 227,6 hektare di Darmakradenan dan sekitar 50 hektare yang masuk ke desa di Kecamatan Gumelar.

Karsim mengatakan, penangkapan dan vonis Mbok Minah 10 tahun lalu tak menyebabkan para pejuang reforma agraria menyerah. Peristiwa itu justru melecut dan menjadikan organisasi tani lokal kian solid. “Masyarakat malah jadi tambah berani,” ujarnya.

Karsim mengemukakan, dari sejarahnya, tanah itu merupakan tanah milik warga yang disewakan kepada perusahaan perkebunan Belanda pada  1890. Namun,  saat nasionalisasi aset berupat tanah itu justru tidak  dikembalikan kepada warga.

Pada 1965, tanah itu disita oleh tentara lantaran pengurus perkebunan merupakan aktivis organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Hingga sekarang tanah itu tak pernah dikembalikan kepada masyarakat.

1575