Jakarta, Gatra.com - Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Batam, Jadi Rajagukguk meminta agar Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang semula adalah Daerah Industri Pulau Batam (DIPB), bukan mengatur mengenai struktur BP Batam.
“Struktur BP Batam diatur dalam Pasal 6, pasal 7 dan pasal 8 UU 36 tahun 2000. Karena itu lebih tepat bila dijadikan rujukannya dari UU 23/2014 tentang Pemda pasal 360,” katanya kepada Gatra.com, Selasa (7/5).
Jadi menyebut bahwa yang diperlukan saat ini di Batam adalah menerbitkan PP yang mengatur keikutsertaan daerah dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, atau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU, yang dapat menyapu bersih semua permasalahan yang selama ini sejak tahun 1999/Reformasi, terabaikan.
“Karena dalam pembentukan OD di Batam bukan tanpa syarat sebagaimana diatur dalam UU 53/1999 yang membentuk Batam sebagai Daerah Otonom,” katanya.
Jadi juga menyebut bahwa sejak bergulirnya gagasan perubahan kedua PP 46/2007 ini, yang rencananya sebagai pintu masuk di terapkannya gagasan Ex-Officio, beberapa pihak sudah menyurati Presiden RI, agar tidak melanjutkan gagasan penerapan Ex-Officio ini.
“Karena potensial konflik kepentingan dalam pengelaan asset Pusat, keuangan dan Politik di Daerah karena Walikota adalah Jabatan Politik, dimana pada saat kampanye di Pilkada dapat menyampaikan gagasan sebagai janji dalam kampanye, berbeda dengan Pimpinan BP Batam, di persyaratkan harus terpisah dari kegiatan Politik Praktis,” katanya.
Ketua Kadin Batam ini juga menegaskan bahwa dalam UU menetapkan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas/ yang sering di sebut FTZ jangka waktunya 70 tahun, dan tidak boleh di tetapkan KEK di kawasan FTZ, pasal 49 UU 39 tahun 2009, kalau sudah di berlakukan KEK maka, otomatis FTZ Hapus.
Untuk itu kata Jadi, Kadin Batam, merekomendasikan seyogyanya karena Walikota lebih terstruktur horinzontal ke-Kementerian dalam negeri sesuai konsep Otonomi Daerah (OD) berdasarkan UU 23/2014 tentang Pemda, dan menurut psl 360 ayat (4), berkaitan juga dengan UU 53/1999 yang membentuk Kota Batam, sebagai Otonomi Daerah, pasal 21 ayat (3) mengamanatkan Penerbitan PP yang mengatur keikutsertaan Daerah di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Padahal PP 46/2007 hanya bersifat deklaratoir untuk menetapkan Batam yang tadinya sebagai Daerah Industi, menjadi Kawasan Perdagangan bebas dan pelabuhan Bebas dan mengalihkan OB menjadi BP Batam, beserta aset serta SDM nya, yang di bentuk oleh Pemerintah Pusat, maka, sebaiknya PP yang diamanatkan UU 23/2014 tersebutlah yang diterbitkan.
“Bukan merubah PP 46/2007 untuk yang kedua kali, karena tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan,” katanya.
Selanjutnya, FTZ di Batam harus mengacu pada UU dengan jangka waktu 70 tahun, karena FTZ terpisah dari Daerah Pabean, sedangkan KEK ada di dalam Pabean, maka sebaiknya fasilitas FTZ yang harus dipertimbangkan untuk di terapkan secara murni dan konsekwen, bila perlu di tambahkan dengan fasilitas lainnya.
Terkait Rapat Konsultasi Publik yang akan digelar Selasa hari ini, Jadi mengungkap sulitnya menepis anggapan di lakukan hanya untuk sekedar formalitas belaka, karena patut di duga gagasan penerapan Kepala BP Batam akan di jabat secara ex-officio oleh walikota Batam, sudah sejak tanggal 12 Desember 2018, terasa kuat pemaksaan kehendak, untuk harus tetap dilaksanakan dan dinyatakan harus dilakukan.
“Sekalipun dalam penyusunannya tidak melibatkan Komisi VI DPR sebagai Mitra Kerja BP Batam, dan juga sudah di cegah oleh berbagai Lembaga Negara seperti DPR, dan Ombudsman Republik Indonesia, dan lain-lainnya dengan argumentasi yang sangat beralasan, yaitu tidak harmonis dan selaras dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Adapun yang menjadi dasar regulatif,” katanya.
Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (DKPDBPB) Batam, seharusnya memiliki SOP dalam membuat aturan main dalam rapat pengambilan keputusan, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban kepada pengusul kepada Presiden untuk di tetapkan sebagai ketua dan anggota Dewan Kawasan, dalam hal ini Gubernur dan DPRD.
“Namun justru ini sampai sekarang tidak ada, praktis dominasi instansi tertentu yang sama tufoksinya dengan anggota lainnya tidak terlaksana bahkan kop surat dalam segala kegiatan hanya memakai kop surat dan stempel Menkoperekonomian, ini patut di pertanyakan legalitas yang menjadi rujukannya,” katanya.
Jadi juga mengungkapkan bahwa di Batam selama ini, sengaja di ciptakan dengan rekayasa, dimana seolah-olah terjadi dualisme kepemimpinan, padahal tupoksinya berbeda dan dasar perundang-undangan kedua instansi jelas ada, yaitu UU No 36 tahun 2000 untuk BP Batam dan UU 23/2014 untuk Pemko Batam.
“Mekanisme pertanggung jawabannya pun berbeda, Pemko melalui DPRD Kota Batam, dan BP Batam bermitra dengan Komisi VI DPR, maka seharusnya di tempat ini sekarang ada utusan dari DPR utamanya dari Komisi VI, namun semua itu diabaikan hanya untuk memaksakan kehendak gagasan merubah PP 46/2007 ini untuk yang kedua kalinya,” katanya.
Padahal, lanjut jadi, fungsi dari PP 46 ini hanya bersifat deklaratori, yaitu untuk menetapkan Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang semula adalah Daerah Industri Pulau Batam (DIPB), bukan mengatur mengenai struktur BP Batam.
“Kadin sebagai Wadah Pengusaha dan wadah organisasi pengusaha menurut UU 1 tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, berkepentingan sesuai perintah undang – Undang dalam setiap perumusan kebijakan dan regulasi yang sedang atau telah diterbitkan oleh Pemerintah, agar Kadin dapat menyerap aspirasi investor dan atau anggotanya, serta melakukan sosialisasi atas kebijakan yang di maksud tersebut,” katanya.