Semarang, Gatra.com - Kalau sudah rezeki, memang tidak bakal ke mana-mana. Sebagaimana kata pepatah, itulah yang dialami Nur Lanah. Warga Tlogosari, Semarang, itu mendapat Rp 1 juta dari Gubernur Jawa Tengah lantaran mampu mendedah makna dugderan.
Saat itu Nur Lanah diminta Gubernur Ganjar Pranowo untuk menjelaskan makna filosofis dugderan, tradisi penyambutan Ramadan itu. "Dug adalah suara bedug dipukul, sementara der adalah suara meriam atau mercon sebagai penanda telah memasuki bulan puasa," kata Lanah sembari tersenyum malu-malu.
Penjelasan Lanah tersebut merupakan jawaban dari tantangan Ganjar Pranowo yang berperan sebagai Kanjeng Mas Raden Tumenggung Probo Hadikusumo saat memberi sambutan perayaan Dugderan di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Sabtu (4/5).
"Bedug dan meriam itu dibunyikan oleh Wali Kota Semarang ketika itu, setelah menerima hasil rapat para kiai atau ulama. Karena Semarang ini luas dan ketika itu belum ada speaker, dipilih suara yang bisa didengar seluruh warga," kata ibu dua anak ini, lebih lanjut.
Ganjar terlihat semringah mendengar penjelasan itu, karena ternyata warisan budaya tersebut telah mendarah daging di masyarakat Semarang. Lebih hebatnya lagi, tetap istikamah dilakukan sampai sekarang. Ganjar pun langsung memberi hadiah berupa uang kontan Rp1 juta.
"Masyarakat sekarang berkumpul semuanya menunggu cerita yang sudah ratusan tahun. Ternyata masyarakat sangat antusias menunggu Ramadan dan mereka juga tahu sejarah Dugderan, dug itu suara bedug, der itu suara mercon atau meriam. Maka ini menjadi tradisi yang dinantikan masyarakat Semarang," kata Ganjar.
Masyarakat Semarang memang tumplek blek memadati kawasan MAJT setelah sebelumnya mengikuti arak-arakan dari Masjid Agung Semarang (Masjid Kauman) di kawasan Johar. Beragam kesenian asli Semarang tampak dalam iring-iringan itu, dari tari-tarian hingga Warak Ngendok.
Pada Perayaan Dugderan menjelang Ramadan tahun 1440 H itu, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi yang berperan sebagai Tumenggung Aryo Purboningrat, bersama Wakil Wali Kota Semarang Hevearita G Rahayu. Dalam prosesinya, Tumenggung Aryo Purboningrat melakukan halakah atau diskusi dengan ulama di Masjid Kauman untuk menetapkan awal pelaksanaan ibadah puasa.
Hasil halakah tersebut kemudian diarak oleh Tumenggung Aryo Purboningrat bersama warga Semarang dari Masjid Kauman menuju MAJT untuk diserahkan kepada Kanjeng Mas Raden Tumenggung Probo Hadikusumo.
Oleh Kanjeng Mas Raden Probo Hadikusumo, hasil halakah tersebut diwartakan kepada masyarakat bahwa Ramadan telah tiba. Imbauan untuk melaksanakan ibadah puasa dan menanggalkan perbuatan murka dia serukan.
Menutup wartanya, Tumenggung Probo Hadikusumo berulang-ulang memukul bedug yang diikuti bunyi der dari petasan. Sorak sorai dan tepuk tangan masyarakat pun langsung menggema di pelataran masjid berpayung raksasa itu.
Setiap tahun, lanjut Ganjar, ramainya seperti ini terus. Dia berharap berkumpulnya orang merayakan tradisi ini dipenuhi dengan pesan-pesan baik agar nanti ketika memasuki Ramadan, hatinya, pikiran perkataan, dan tindakannya bersih. "Setidaknya, ini menjadi awal yang membikin Semarang, Jateng, dan Indonesia ayem-tentrem," katanya.
Setiap tahun, kata Ganjar, hasil halakah ulama ini juga terus dibacakan. "Mari kita memanfaatkan momentum Ramadan ini untuk berbuat baik, berkata baik, mari kita sambung lagi silaturahmi," katanya.
Ganjar juga menyampaikan perbedaan saat Pemilu tidak usah diungkit-ungkit lagi. Ramadan menjadi momentum tepat untuk berjabat tangan, berangkulan dan saling berkasih.
"Gak usah mikir Pilpres, Pileg. Tugas kita sekarang gandeng yuk tetangga kita yang kemarin pilihannya berbeda, kita anterin kolak karena sekarang waktu yang pas, kita ajak buka bersama sepertinya kok lebih cocok, atau barangkali karena besok sudah mulai tarawih, saya membayangkan para caleg yang tim sukses, yang pilihannya berbeda kemarin sekarang duduk berdampingan lalu pulang suasananya bahagia," katanya.