Jakarta, Gatra.com - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadani menyebut, situasi masyarakat sebelum hingga sesudah Pemilu Serentak 2019 sudah terbelah dan terpolarisasi.
"Ada polarisasi keterbelahan kelompok masyarakat yang luar biasa, kita harus berhadapan realitas itu dimana orang lebih ingin dan bersemangat bicara pilpres tapi lupa pileg yang sebetulnya sama penting," kata Peneliti Perludem, Fadli saat memberikan sambutan dalam diskusi di LBH Jakarta, Jum'at (3/5).
Fadli menjelaskan kondisi masyarakat saat ini sedang ramai membicarakan tentang kontestasi Pemilu 2019. "Dengan banyak sekali perspektif, tapi satu hal yang harus kemudian disadari proses Pemilu bukan tujuan berbangsa," katanya.
Menurut Fadli, Pemilu hanyalah masa transisi kepemipinan lima tahunan secara konstitusional dan tidak ada tempat kekerasan apalagi tempat pertumpahan darah dalam sebuah proses demokrasi.
"Kita menghadapi tantangan yang cukup berat sebetulnya dengan kondisi hari ini. Ada polarisasi keterbelahan kelompok masyarakat yang luar biasa. Kita harus berhadapan realitas itu dimana orang lebih ingin dan bersemangat bicara Pilpres tapi lupa Pileg yang sebetulnya sama penting," ujar Fadli.
Menurutnya, kondisi sekarang dimana polarisasi keterbelahan dukungan saling curiga dalam proses Pemilu sebagai dampak dari desain Pemilu yang membuat keterbelahan dan polarisasi di masyarakat
"Ya soal keterbatasan jumlah pasangan calon presiden yang sudah di desain dari awal dari proses pembentukan regulasi Pemilu ini menjadi problem kita bersama, adanya ambang batas presiden telah membuat polarisasi," terang Fadili.
"Ini akan terus berlanjuat paling tidak sampai September Oktober nanti. Ada waktu yang cukup panjang untuk harus diisi untuk mewacanakan rekonsiliasi. Tapi harus dilihat dalam konteks apa rekonsiliasi dilakukan. Kalau hanya untuk bagi jabatan kita publik tidak akan mendapat apa apa," pungkasnya.