Jakarta, Gatra.com - Ambang batas Pencalonan Presiden atau Presidential Threshold masih menjadi masalah. Karena itu, persyaratan ini ditolak untuk dijadikan syarat untuk 2024. Executive Director Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menganggap presidential threshold menjadi penyebab polarisasi dalam pemilihan umum (pemilu) 2019.
"Kalo kami kan mengusulkan penghapusan ambang batas pencalonan presiden, sehingga nanti tidak kemudian terjadi polarisasi yang begitu membelah," ungkap Titi.
Ambang batas pencalonan presidentertuang dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Disebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres-cawapres dalam pilpres.
Titi menambahkan jika ingin kualitas demokrasi yang lebih baik pada 2024, maka ambang batas pencalonan presiden mestinya ditiadakan, atau harus ada formula yang lebih ramah, lebih fleksibel bagi keragaman pilihan.
"Menurut saya Mahkamah Konstitusi itu tidak melihat konstitusi sebagai tafsir baku yang mati gitu, yang statis, dalam banyak hal kan Mahkamah Konstitusi memperhitungkannya kondisi sosial kemasyarakatan, dinamika politik, dinamika masyarakat, sosial," katanya.
Titi juga berpendapat kalau DPR sebetulnya bisa mengubah peraturan tersebut. Karena kebijakan hukumnya adalah open legal.
"Mestinya perubahan itu tidak harus kita pergi ke Mahkamah Konstitusi, ruang untuk berubah itu ada di pembuat Undang-Undang. Karena kan Mahkamah mengatakan sebenarnya itu open legal policy atau kebijakan politik hukum terbuka," pungkasnya.