Home Politik Kubu Prabowo-Sandi Harus Buktikan Tudingan Kecurangan Pemilu TSM

Kubu Prabowo-Sandi Harus Buktikan Tudingan Kecurangan Pemilu TSM

Jakarta, Gatra.com - Pakar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof. Dr. I Gde Panjta Astawa, menilai kubu 02 Prabowo-Sandi harus membuktikan tudingannya terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) pada pemilu khususnya pilpres 2019.

"Oh iya tentu saja [harus membuktikan]. Kalau dia tidak mempunyai bukti, fitnah namanya. Gitu kan simpel persoalannya," kata Panjta kepada Gatra.com, Rabu (1/5).

Menurut Pantja, kubu 02 harus menempuh koridor atau wadah yang telah disediakan negara jika memiliki bukti-bukti terjadinya kecurangan pemilu secara TSM dan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak linier dengan klaim yang sudah dideklarasikan berkali-kali.

"Bahwa kemudian nanti hasil final real count sudah diumumkan KPU, ternyata salah satu paslon itu merasa dirugikan atau menduga berdasarkan bukti-bukti yang mereka punya, terjadi praktik kecurangan atau apapun, kan ada mekanisme yang mengatur," ujarnya.

Menurutnya, kecurangan yang ditudingkan juga apakah itu soal administrasi atau tindak pidana. Jika bersifat administrasi maka bisa melaporkannya kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Tapi kalau misalnya salah satu paslon memiliki bukti-bukti bahwa terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan massif, tentu saja dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Itu jalur-jalur yang sudah jelas ditentukan dan diatur dalam peraturan perundang-undangan kita," ujarnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara ini pun mengimbau semua pihak jangan sampai mengada-ada dan emosional dalam menyikapi proses pemilu karena itu tidak memberikan edukasi yang baik kepada publik atau masyarakat.

Sedangkan ketika disinggung klaim dan deklrasi sebagai pemenang pilpres 2019 yang dilakukan kubu Prabowo-Sandi, Panjta mengatakan, sebaiknya semua pihak termasuk kedua paslon agar menahan diri hingga ada pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasalnya, hasil quick count pun hanya sebagai rujukan.

"Sehingga kalau ada salah satu pihak yang men-dieclare atau menyatakan dirinya jadi pemenang, itu menurut saya terlampau prematur," ujarnya.

Kenapa prematur, lanjut Panjta, karena selain KPU, sama sekali tidak memiliki kewenangan. "Jangankan kontestan yang bersangkutan atau kontestan yang ada, lembaga survei pun dengan hasil quick count-nya tidak boleh men-declare bahwa calon ini menang dan ini kalah. Yang punya kewenangan men-declare itu hanya KPU," ujarnya.

Pantja pun mengharapkan semua pihak agar bersabar menunggu hasil real count yang sedang dilakukan KPU. Jika ada kubu yang tidak puas dengan keputusan KPU bisa menempuh jalur konstitusional bukan terus menyampaikan terjadi kecurangan secara TSM.

"Bahwa kemudian nanti hasil final real count sudah diumumkan KPU, ternyata salah satu paslon itu merasa dirugikan atau menduga berdasarkan bukti-bukti yang mereka punya terjadi praktik kecurangan atau apapun, kan ada mekanisme yang mengatur," katanya.

"Ya kalau saya [imbau] menahan diri, terutama pasangan calon. Salah satu pasangan calon itu yang sudah sejak awal sudah menyatakan diri sebagai pemenang. Logikannya di mana, orang KPU saja belum menghitung gimana dia menyatakan men-declare sebagai pemenang. Gimana logiknya, akhirnya jadi bahan ketawaan publik," ujarnya menambahkan.