Semarang, Gatra.com - Hari Buruh Internasional diwarnai dengan aksi unjuk rasa para pekerja media di kota Semarang. Puluhan aktivis media yang tergabung dari berbagai organisasi profesi menyatakan Jawa Tengah sebagai wilayah darurat pekerja media.
Para jurnalis dari berbagai elemen organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Federasi Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jateng, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jateng, Persatuan Pers Mahasiswa Kota Semarang, berunjuk rasa di depan Menara Suara Merdeka di Jalan Pandanaran Semaran, Rabu (1/5).
Sebelum sampai di Menara Suara Merdea, berjalan kaki dari kawasan Tugu Muda yang berjarak 300 meter dengan membawa poster dan spanduk yang berisi tuntutan kepada pemerintah agar memperhatikan nasib para buruh khususnya para pekerja media.
Koordinator aksi, Edi Faisol dari AJI Semarang, dalam orasinya mengatakan bahwa pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah seharusnya peduli terhadap nasib pekerja media. Menurutnya ada banyak kasus pelanggaran hukum yang menyangkut pekerja media.
“Saat ini banyak pekerja media di Jawa Tengah tak mendapat upah sesuai nilai minimum kabupaten/kota. Bahkan di kota Semarang, terdapat dua media besar yang jelas-jelas melanggar norma perburuhan yang merugikan para pekerjanya” kata Edi dalam orasinya di depan Menara Suara Merdeka.
Edi mengatakan, salah satu perusahaan media cetak itu bahkan sudah tak terbit sekitar tiga pekan lalu, perusahaan tersebut tak membayar upah, apalagi pesangon ke para pekerjanya.
Ironisnya, kata Edi, hal itu justru tak disikapi oleh pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Jateng maupun Disnaker Kota Semarang. Dia menyatakan bahwa pemerintah daerah tak mampu berbuat banyak. Saat AJI menanyakan kasus tersebut, dinas yang bersangkutan beralasan masih kekurangan tenaga pengawas industrial.
Bagi Edi, hal itu bukan menjadi alasan. Dia justru menuding ada hubungan konflik kepentingan antara birokrasi di pemerintahan dengan oligarki pengelola media. “Buktinya dinas tahu bahwa perusahaan tersebut jelas melanggar norma perburuhan, tapi tak berani menindak secara tegas,” kata Edi.
Atas kondisi tersebut, kata Edi, AJI Semarang menetapkan Jateng sebagai daerah darurat bagi pekerja media.