Purwokerto, Gatra.com – Seorang wanita dengan menggendong bayinya terjun bunuh diri di Sungai Serayu, perbatasan Maos-Kesugihan, Cilacap, Sabtu (27/4). Wanita tersebut adalah Septiana alias SP (32) warga Karangreja, Kecamatan Maos. Adapun bayinya adalah Yunus (4 bulan). Jasad mereka telah ditemukan. Jenazah Septiana ditemukan pada Sabtu petang, sedangkan jenazah bayinya baru ditemukan pada Senin (29/4) lalu.
Kenekatan ibu untuk bunuh diri bersama dengan anaknya ini pun menimbulkan tanda tanya. Ada dugaan, Septiana mengalami baby blues syndrome, sindrom yang banyak dialami ibu pascapersalinan.
Dugaan ini muncul lantaran perangai Septiana berubah setelah melahirkan anak keduanya. Keluarga dan tetangganya menyebutkan, Septiana kerap melamun, cenderung menjadi pendiam, dan kerap bepergian tanpa arah bersama bayinya.
Soal ini, dokter spesialis jiwa RSUD Banyumas, dr Hilma Paramita, Sp. Kj menyatakan belum bisa memastikan apakah si ibu mengalami baby blues syndrome atau gangguan kejiwaan lainnya. Sebab, diagnosis baru diperoleh dengan pemeriksaan berupa wawancara psikiatris dari pasien dan keluarga dan pemeriksaan klinis psikiatris.
Akan tetapi, dari informasi yang diperoleh, ada kemungkinan masalah kejiwaan yang berhubungan dengan pascapersalinan. Hal ini terutama bila sebelumnya tidak ditemukan gangguan psikiatri.
Menurut dia, ada juga gangguan psikiatri yang tercetus kembali pascapersalinan,meskipun sebelumnya sudah membaik. Sebab itu, perlu penelusuran apakah si ibu pernah mengalami gangguan psikiatri pada masa sebelumnya.
“Kalau lihat dari dampaknya lebih mungkin karena depresi postpartum atau psikosis postpartum ya. Namun butuh keterangan dan pemeriksaan lebih lanjut,” kata Hilma, Selasa sore.
Hilma menerangkan, ada sejumlah gangguan psikiatri atau gangguan kejiwaan pascapersalinan. Yakni baby blues syndrome, depresi pascapersalinan dan psikosis pascapersalinan. “Baby blues syndrome belum digolongkan sebagai gangguan kejiwaan,” katanya.
Gejala baby blues, di antaranya, ibu menangis tanpa alasan yang jelas, mudah kesal, cepat lelah, tidak percaya diri, mudah tersinggung, sulit istirahat. Dampaknya, ibu penderita baby blues enggan memperhatikan bayinya. “Intinya baby blues masih merupakan reaksi wajar ibu pascamelahirkan, belum digolongkan sebagai gangguan jiwa,” ujarnya.
Menurut Hilma, angka insiden baby blues syndrome cukup tinggi, mencapai 50-80 persen. Namun, ibu yang mengalami gejala ini masih bisa berkegiatan sehari-hari dan perasaannya tidak seberat depresi.
Yang perlu diwaspadai, katanya, adalah perubahan dari status baby blues syndrome ke depresi dan psikosis pascapersalinan. Ini terjadi lantaran si ibu yang sudah ada gejala tak mendapatkan penanganan tepat, atau bahkan tak mendapat dukungan keluarganya. “Apakan bisa baby blues berubah jadi depresi atau psikotik? Ya bisa bila tidak ditangani optimal dan tidak ada perbaikan,” katanya.
Berbeda dari angka baby blues syndrome yang sangat tinggi, angka depresi pascapersalinan terjadi kepada sekitar 10 persen ibu bersalin. Dalam kasus ini, sudah timbul gangguan-gangguan yang menimbulkan penderitaan ibu dan mengganggu fungsi keseharian.
“Perasaan yang dominan adalah rasa sedih, tidak berdaya, rasa bersalah, hilang minat untuk pengasuhan, sulit tidur, kadang terlintas ingin bunuh diri dan sebagainya,” kata Hilda.
Yang terberat, menurut Hilda, adalah psikosis pascapersalinan. Angka kasusnya sekitar satu per seribu pascapersalinan. Gejalanya berupa timbulnya halusinasi seperti mendengar suara yang tidak ada sumbernya, kadang merasa melihat orang-orang yang sudah meninggal dunia, merasa terancam nyawanya atau halusinasi bahwa akan ada bencana yang menimpa keluarga.
“Kadang ada beberapa kasus, memutuskan untuk bunuh diri dan membunuh anak-anaknya,” katanya
Psikosis pascapersalinan bisa dipicu berbagai faktor, seperti gangguan hormonal, kelelahan, kerentanan psikologis sebelumnya, dukungan yang kurang dari keluarga, dan banyaknya masalah yang dialaminya.
Untuk mencegahnya perlu perhatian yang cukup sejak ibu diketahui hamil. Lakukan antenatal care, periksa ke dokter bila ibu nampak gelisah, atau terlihat banyak menanggung masalah. Dengan demikian, gangguan psikologis itu dapat segera ditangani, baik dengan pemberian obat maupun dukungan psikologis.