Home Ekonomi Perjalanan Panjang Freeport Kembali ke Ibu Pertiwi

Perjalanan Panjang Freeport Kembali ke Ibu Pertiwi

Jakarta, Gatra.com - Millenial Balai Pustaka membuat acara diskusi publik dan bedah buku ‘Freeport Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi’ yang ditulis oleh Dr. Fahmy Radhi, MBA, dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) serta pengamat ekonomi. Diskusi berlangsung di Halal Park, Jakarta (30/4).

Buku ini menjelaskan perjalanan Freeport, mulai dari tahun 1966 sampai akhirnya pada tahun 2017, bagaimana pemerintah Indonesia berusaha mengambil alih Freeport dari saham minoritas sekitar 9,4% menjadi saham mayoritas sebesar 51,2%.

Fahmy juga menjelaskan bahwa ‘perjalanan Freeport’ ini menguras energi karena melibatkan beberapa kementrian, yaitu Kementrian ESDM, Kementrian BUMN, dan Kementrian Keungan. Dia menggambarkan banyaknya proses yang alot serta berbagai macam negosiasi di dalamnya. Selain itu, ada juga beberapa drama seperti kasus ‘Papa Minta Saham’ yang dilakukan oleh Setya Novanto dan kawan-kawan.

Pada kesempatan kali ini, Fahmy memberikan alasan mengapa Freeport harus kembali ke Ibu Pertiwi, seperti judul bukunya tersebut. Dia menjelaskan lebih jauh proses pengambil alihan Freeport pada masa Orde Baru oleh perusahaan Amerika Serikat, Freeport McMoran. Dia menjelaskan sejarah perjalanan Feeeport dari waktu ke waktu.

“Padahal sebelumnya, di zaman Orde Lama, Bung Karno tidak pernah mau memberikan konsesi pada perusahaan asing manapun untuk menambang di sana [Papua)]” ungkapnya di sela-sela diskusi.

Menurut dia, ini dikarenakan hasil penelitian geogologi pada saat itu bahwa Papua memiliki potensi tambang emas yang besar, bahkan terbesar di dunia.

Dia menerangkan, pada saat terjadi perebutan Papua Barat antara Indonesia dengan Belanda, Amerika mengambil langkah politik untuk berpihak kepada Indonesia yang mana bermaksud untuk mengambil tambang emas di Papua.

“AS berpikir secara geopolitik kalau tambang itu dikuasai Belanda, maka tentu akan sulit untuk melakukan intervensi,” katanya.

Namun, saat Bung Karno terpilih menjadi Presiden, AS meminta kepada Soekarno untuk memberikan izin konsesi. Alih-alih memberikan tambang emasnya, Soekarno menolak mentah-mentah permintaan itu. Dan dari kejadian itu pula banyak issue beredar bahwa jatuhnya Orde Lama merupakan campur tangan AS untuk mengambil alih tambang emas di Papua.

Lalu, ketika mulainya rezim Orde Baru, Presiden saat itu, Soeharto memberikan konsesi pertamanya pada tahun 1967 kepada Freeport McMoran milik Amerika Serikat tanpa memiliki saham sedikit pun untuk pemerintah Indonesia. Barulah pada tahun 1971, Indonesia memiliki saham Freeport sebesar 9,4% dengan dividen yang tidak pernah dibagikan selama 51 tahun.

“Baru di era Jokowi, komitmen untuk mengembalikan Freeport kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan berakhirnya kesepatakan divestasi saham sebesar 51,2% kepada Indonesia,” kata Fahmy.

921