![](https://static.gatra.com/foldershared/images/2019/erry/04-Apr/pra2.jpg)
No pict Bandung, Gatra.com - Pengacara dan pengusaha sebagai pihak yang rentan terlibat dalam perkara sengketa, dinilai wajib memahami secara komprehensif mekanisme dan keberadaan peradilan arbitrase. Mengingat penyelesaian sengketa antara pihak yang bertikai tak melulu bisa diselesaikan lewat ketukan palu hakim pengadilan.
Sistem peradilan arbitrase dapat dijadikan alternatif bagi publik di luar peradilan umum. Di mana didasari pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
"Para pelaku bisnis sekarang ini sudah banyak menyepakati apabila terjadi sengketa, diselesaikan melalui arbitrase atau BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Ke depan diharapkan dengan adanya BANI ini para pencari keadilan semakin paham bahwa ada domain penyelesaian sengketa melalui arbitrase khususnya dalam hal ini BANI," kata Penasihat BANI Bandung, Kuswara S. Taryono, Sabtu (27/4).
Kuswara menyampaikan, kendati belum menjadi pilihan utama, arbitrase sudah banyak dilirik kalangan pebisnis untuk menyelesaikan sengketa. Adapun BANI merupakan salah satu lembaga otonom yang memiliki kewenangan melakukan peradilan arbitrase di tanah air.
Sejak didirikan tahun 1997 silam, lembaga ini telah banyak menyelesaikan sengketa komersial di berbagai bidang.
Menurutnya, peradilan arbitrase ini dinilai memiliki banyak keunggulan ketimbang sistem peradilan umum. Lewat peradilan arbitrase, para pihak yang bersengketa bisa mendapatkan waktu putusan yang relatif lebih singkat.
Tidak hanya itu, pihak yang bersengketa juga bisa menghindari ekspose publik seperti yang terjadi dalam skema peradilan umum.
Tambah Kuswara, kunggulan lain yang bisa diperoleh yaitu, putusan peradilan arbitrase bisa dilakukan lewat sekali proses peradilan.
”Dasar hukumnya UU Nomor 30 tahun 1999. Putusannya final and bounding. Jadi tidak ada istilahnya proses sepert banding kasasi, PK," katanya.
Kendati demikian, kedua belah pihak yang bersengketa harus memiliki kesepakatan tertulis ihwal penggunaan mekanisme arbitrase baik sebelum maupun setelah terjadinya sengketa bilamana hendak menempuh peradilan ini.
Kesepakatan dimungkinkan dilakukan setelah terjadi sengketa asalkan kedua belah pihak menyetujui penyelesaian melalui arbitrase.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Jawa Barat, Cecep Aminudin mengatakan keberadaan peradilan arbitrase ini meningkatkan efektifitas penyelesaian sengketa. Karena itu pemahaman publik yang utuh terkait arbitrase ini perlu didorong.
Tentunya, lanjut dia, pemahaman bagi para advokat juga sangat penting ditanamkan. Mengingat kian berkembangnya kebutuhan masyarakat terhadap alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan umum.
"Pemahaman mengenai jasa arbiter sebagai pihak yang memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan melalui arbitrase sangat diperlukan bagi peningkatan efektifitas penyelesaian sengketa," kata dia.
Reporter: Risyad Nuradi
Editor: Putri Kartika Utami