Jakarta, Gatra.com - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengalami dualisme kepemimpinan, satu diketuai oleh Jend. TNI (Purn.) Moeldoko dan satu lagi diketuai Fadli Zon. Dualisme ini sudah terjadi sejak 2010.
Setelah HKTI kubu Moeldoko mengadakan tasyakuran, hari ini (28/7) HKTI kubu Fadli Zon yang mengadakan tasyakuran dalam rangka HUT ke-46 HKTI di Sekretariat DPN HKTI, Gedung Arsip, Kementerian Pertanian.
Fadli mengatakan semenjak Reformasi, HKTI melepaskan diri dari pemerintah dan menjadi organisasi masyarakat sendiri. "Tantangan sekarang adalah bagaimana membela petani dan sektor pertanian," ujar Fadli.
Menurut Fadli nilai tukar petani yang stagnan dan impor pertanian yang tak berpihak pada rakyat menjadi masalah di Indonesia. Fadli menilai, nilai tukar merupakan indikator kesejahteraan petani. "Kondisi jauh dari ideal. Nilai tukar petani masih stagnan 101-102 poin," ungkapnya.
Terkait impor, Fadli mengusulkan amnesti data untuk memperbaiki data produksi dan konsumsi. "Salah data menimbulkan salah intervensi (kebijakan)," ujarnya. Untuk menggambarkannya, Fadli mencontohkan mengenai kebijakan impor jagung.
Wakil Ketua Dewan Pembina HKTI Rachmat Pambudy berpendapat petani mengalami deindustrialisasi dan tak terlibat dalam industrialiasasi. Menurutnya, hal ini menyebabkan nilai tukar petani rendah. "Petani bisa dilibatkan di industri-industri kecil (rumah tangga)," ujar Rachmat.
Rachmat menjelaskan bahwa petani dapat makmur melalui pemilihan komoditas yang tepat dan teknologi. "Saat ini lahan semakin terbatas, kita harus manfaatkan teknologi" ujar Rachmat.
Ketua Dewan Pembina HKTI Jafar Hafsah menegaskan bahwa politik pangan harus menjadi politik Internasional Indonesia. Ia mencontohkan diplomat Australia yang gencar mendukung produk sapinya.
Tak lupa Fadli memotong tumpeng sebagai ungkapan rasa syukur secara simbolis. Fadli berharap bahwa HKTI semoga semakin maju kedepannya.