Home Gaya Hidup Menyambangi Gamol, Desa Wisata Tani Ramah Lingkungan

Menyambangi Gamol, Desa Wisata Tani Ramah Lingkungan

Sleman, Gatra.com – Dusun Gamol, Balecatur, Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mampu menyulap lahan kosong penuh alang-alang menjadi kawasan wisata tani dan budaya yang ramah lingkungan. Jadi tujuan wisata edukasi, sekaligus mengangkat potensi lokal dan produktivitas warga.

Tiga puluhan bocah berbusana tradisional Jawa menyambut tamu yang bertandang di dusun itu pada Jumat (26/4). Anak laki-laki berperan sebagai bergada atau prajurit keraton yang memainkan drumband, sedangkan para putri menyandang jemparing atau panah tradisional Jawa bak pasukan wanita.

Di tengah area pedesaan yang padat penduduk, mereka menghidupkan kembali sejarah desa yang pernah memiliki bergada Joyohartono.

Para prajutit cilik itu bertugas mengantarkan pengunjung ke desa mereka yang telah dikembangkan sebagai tujuan wisata pertanian dan peternakan modern, yakni di Desa Wisata Budaya Gamol. Desa berada sejauh 10 kilometer arah barat pusat Kota Yogyakarta.

Di pelataran depan area wisata desa ini, pengunjung—terutama pelajar dan anak-anak--akan disambut tanaman sayur yang hijau nan segar. Warga desa yang ramah pun siap menjelaskan dan mengajarkan budidaya bayam, cabe, dan sayuran lain di situ.

Wisatawan juga bisa merasakan langsung pengalaman memetik dan memanen sayuran. Di area bernama Taman Sukoreno ini, kebun sayur dikelilingi aneka bunga warna-warni dan berdampingan denan kolam ikan. Pengunjung pun dapat meriung bersama di gazebo kayu di tengahnya.

Di sisi selatan gardu ini, warga membudidayakan 30 kambing secara bersama-sama. Jangan bayangkan kandang kambing ini kotor dan bau. Kebersihan kandang ini terjaga sehingga pengunjung dan turis cilik nyaman saat mau memberi makan ternak tersebut.

Kambing ini jenis etawa yang menghasilkan susu. Saban hari, seekor kambing etawa bisa menghasilkan susu hingga setengah liter. Di pelataran asri di bawah naungan pohon asem raksasa, pengunjung dapat merasakan pengalaman memerah susu kambing hingga langsung menikmatinya.

Tak hanya segar, susu etawa menyehatkan karena punya khasiat untuk batuk dan sesak nafas. Susu kambing etawa juga diolah di rumah produksi susu. Proses produksinya dapat diikuti bersama. Hasilnya, susu bubuk aneka rasa dan kerupuk susu. Produk susu etawa ini cocok jadi oleh-oleh.

Di bagian selanjutnya, ada rumah pengelolaan sampah. Rumah ini menjadi sentra ‘sedekah’ dan daur ulang sampah. Pemuda karang taruna Gamol mengolah berbagai sisa kemasan makanan menjadi tas, topi, mainan, dan cenderamata yang unik.

Secara kreatif, warga mendekorasi sejumlah sudut di kebun sekitar dengan barang bekas. Selain untuk tempat rehat, lokasi ini cocok sebagai pojok foto dan selfie, seperti ornamen wayang raksasa yang, meminjam istilah milenial, Instagramable.

Kreativitas warga tak berhenti di sini. Sembari menikmati suasana desa, wisatawan yang haus dapat menikmati minuman segar menyehatkan olahan warga, wedang secang dan sirup nata lidah buaya.

Kalau lapar, ibu-ibu desa Gamol menyediakan sate dan bakso tusuk yang empuk dan kaya bumbu. Jangan khawatir, penganan ini menyehatkan.

Meski rasanya amat mirip dengan bakso dan sate daging, makanan ini terbuat dari jamur. Kuliner ini merupakan hasil dari Kumbung Jamur, unit budidaya jamur di Gamol.

Desa Wisata Budaya Gamol diresmikan pada 24 Oktober 2018 oleh istri Gubernur DIY sekaligus permaisuri raja Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Namun persiapannya jauh sebelum itu.

Warga Gamol, Sunardi, 57 tahun, bercerita, kawasan seluas sekitar 1000 meter persegi itu semula lahan kosong penuh rumput tinggi yang terbengkalai. Sejak 2011, Gamol mulai dikembangkan sesuai potensi setempat. “Saya dan warga mbabat alas,” ujar dia kepada Gatra.com.

Dalam bahasa Jawa, mbabat alas bermakna harfiah membersihkan atau membuka hutan. Tapi ia juga punya arti konotasi sebagai upaya memulai sesuatu dari awal—dalam hal ini memulai langkah untuk mengangkat potensi pedukuhan berpenduduk 864 orang itu.

Peternakan kambing yang pernah gagal dibangitkan lagi melalui program bantuan. Ada 20 orang bapak-bapak Gamol bergotong royong merawat taman dan merawat kambing, sementara 17 ibu-ibu mengurusi susu perah dan produknya, beserta budidaya sayur. Anak muda dan warga lain di

Hasil dari tiket Rp15 ribu per orang, beserta penjualan berbagai produknya, dikelola sebagai kas desa dan pendapatan warga atas jasa mereka.

Sebagai contoh, ibu-ibu yang memerah dan mengolah susu akan memperoleh Rp12 ribu per liter. “Warga yang aktif bisa mendapat hasil lebih dan masuk tabungan,” ujar Sunardi yang dipercaya sebagai ketua kelompok ternak.

Menurut dia, pengembangan dewa wisata ini member pengaruh terhadap kehidupan warga secara bertahap.

“Bukan hanya soal ekonomi, tapi juga membuat kami belajar mengelola (wisata) ini supaya terus berkembang,” kata dia.

Kepala Dukuh Gamol, Tamtama, menjelaskan Gamol akan terus dikembangkan sesuai potensi desa, seperti menyiapkan lahan sawah untuk wisata menanam padi dan membajak, juga pengolahan pupuk dari kotoran kambing.

“Kami menonjolkan wisata edukasi, karena kebanyakan pengunjung kami anak-anak dan siswa PAUD hingga SMP, keluarga dan kelompok sosial,” ujarnya.

Desa Wisata Budaya Gamol merupakan desa binaan yang menjadi bagian tanggungjawab sosial PT Pertamina (Persero) di kawasan Terminal Bahan Bakar Minyak Rewulu.

Selain di Gamol, program serupa ada di Dusun Samben di bidang agribisnis dan produksi jamu di Dusun Watu, keduanya di Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul.

Atas program di area Rewulu ini, Pertamina meraih peringkat emas dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selama 2013-2018.

Secara bertahap sejak 2013, Pertamina memang mengembangkan Gamol dengan alokasi Rp800-900 juta per tahun.

“Saya kaget kalau di sini tadinya lahan kosong. Ini luar biasa dan dikelola dengan baik. Tidak ada cacatnya,” kata Direktur Pengolahan PT Pertamina Budi Santoso Syarif saat menyambangi Gamol, Jumat (26/4).

Menurut Budi, pengembangan desa seperti Gamol ini harus sinambung dan konsisten. Tak menutup kemungkinan, ia akan mengembangkan lahan serupa di area kerjanya yang memiliki lahan kosong seperti di Sorong, Papua.

Tentunya, pengembangan tersebut sesuai potensi setempat. “Kami aka bina hingga warga menghasilkan,” ujar Budi.

Dengan begitu, bukan hanya memberdayakan warga setempat, seperti halnya Dukuh Gamol, produktivitas daerah itu pun meningkat tanpa meninggalkan budaya dan suasana alam desa yang asri.

 

2815