Jakarta, Gatra.com - Neraca perdagangan pada Maret dan Februari mencatat surplus masing-masing US$540 juta dan US$330 juta. Perbaikan terlihat di kedua sisi. Non-oil and gas mencatat surplus hampir US$1,2 miliar pada 19 Maret. Bandingkan dengan defisit US$1,6 miliar pada kuartal ke-4 2018. Segmen migas juga meningkat menjadi -US$1,3 miliar pada kuartal ke-1 2019 dari -US$3,2miliar pada kuartal ke-4 2018.
Dalam analisis yang diterima Gatra.com, Jumat (26/4), pakar Ekonomi dari DBS Group Research, Masyita Crystallin menyatakan bahwa neraca perdagangan dapat membaik pada 2019 daripada 2018 karena tiga alasan.
Pertama, dampak depresiasi rupiah pada akhirnya berimbas ke harga dan akan menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam permintaan impor. Kedua, kemungkinan stabilisasi ekonomi Cina dapat mendukung permintaan perdagangan di kawasan ini, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Bayu Krisnamurthi: Indonesia Bukan Negara Agraris
“Faktor lain, kami memperkirakan harga minyak jenis Brent berkisar rata-rata di antara US$65-70/barel pada tahun ini jika dibandingkan dengan US$72 pada 2018. Itu harus bisa menurunkan nilai impor minyak,” sebut Masyita.
Meski demikian, perlambatan ekspor bisa berlanjut tahun ini. Kinerja ekspor lemah juga terjadi di negara lain di kawasan ini karena perlambatan ekspor, terutama disebabkan oleh perlambatan permintaan perdagangan global. Itu diperparah oleh likuiditas lebih ketat, yang berdampak pada perdagangan akibat daya beli melemah. Selain itu, harga komoditas utama Indonesia, seperti, CPO, batubara, dan karet, diperkirakan tetap datar pada tahun ini.
Terkait dengan tujuan ekspor utama, tujuan utama, Cina, Jepang dan ASEAN, yang menyumbang 34% kepada ekspor Indonesia, berkurang secara berarti. Maka, penguatan ekonomi Cina, atau setidak-tidaknya pertumbuhannya yang melambat atau mendatar, dapat mendukung perdagangan intra-Asia pada tahun ini dan mendukung ekspor Indonesia.
Baca Juga: Laba Astra Agro Lestari Turun 89%, Presdir Astra: Bukan karena Black Campaign Uni Eropa
“Untungnya, impor melambat lebih dalam ketimbang ekspor. Alhasil, meningkatkan neraca perdagangan Indonesia secara keseluruhan. Kombinasi dari harga minyak, yang lebih rendah, dan rupiah yang melemah dibandingkan dengan pada 2017, juga turut menyumbang penurunan impor,” sebut dia lagi.
Selain itu, karena kandungan muatan impor dalam produk ekspor masih cukup berarti, perlambatan ekspor juga menyumbang terhadap penurunan impor. Di dalam negeri, pertumbuhan investasi lebih lemah, yang tampaknya memuncak pada kuartal ke-3 2018, mungkin telah menyebabkan penurunan dalam impor barang modal.
Selain faktor eksternal dan domestik, faktor penentu penting lain berasal dari ruang kebijakan. Pengetatan sikap kebijakan moneter dan beberapa langkah untuk mengekang impor juga menyumbang peningkatan neraca perdagangan. Langkah itu termasuk kenaikan pajak impor (PPH 22) untuk hampir 1.000 barang konsumsi, persyaratan untuk menggunakan bahan bakar campuran biodiesel (B20), dan rencana menunda impor barang modal untuk beberapa proyek infrastruktur.
Baca Juga: Setor Rp8,08 Triliun, PT Pertamina EP Cepu Penyumbang Pajak Migas Terbesar 2018
Penurunan impor meluas (konsumen, bahan baku dan modal). Impor barang konsumsi turun 13,9% secara tahunan, sementara impor modal turun 4,5% secara tahunan. Proporsi terbesar berasal dari bahan baku, yang menyumbang 75% terhadap total impor, yang melambat 7,4% secara tahunan.
Terkait dengan dampak terhadap nilai tukar, Masyita mencatat bahwa dalam pertemuan terakhir untuk membahas masalah kebijakan, Bank Indonesia (BI) menegaskan fokusnya untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap pada tingkat fundamentalnya. Juga memastikan inflasi berada dalam kisaran target BI, mengurangi defisit transaksi berjalan, dan menjaga daya tarik aset keuangan domestik.
Baca Juga: Melek Investasi, Milenial Dominasi Pembelian SBR006
“Setelah Bank Sentral AS berganti haluan dan lebih mendukung pertumbuhan dan inflasi dan rupiah berada dalam tingkat nyaman bagi BI, satu-satunya faktor yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perkembangan dalam neraca perdagangan dan transaksi berjalan,” imbuhnya.
“Untuk saat ini, kami berpendapat bahwa BI kemungkinan mempertahankan kebijakannya karena ketidakpastian global terus membayangi arus perdagangan dan modal. Diperlukan lebih banyak poin data neraca perdagangan untuk menyimpulkan sebaliknya,” pungkas dia.